ARJUNA;34

3.4K 204 3
                                    

Turun dari motor, Arjuna melangkah mendekati pintu. Ah, tidak. Lebih tepatnya melangkah mendekati seorang pria berjas rapi yang berdiri di depan pintu dengan posisi menghadap pintu. Membelakangi Arjuna. Tanpa Arjuna memanggil agar orang itu menoleh, Arjuna sudah tahu siapa sosoknya.

Wajahnya yang sejak kembali dari rumah Ariana menyunggingkan senyum mendadak pudar dengan wajah datar. Kedua tangannya masuk dalam saku celana menatap tajam punggung tegap yang diturunkan padanya.

"Masih berani Anda kemari?"

Pria itu, ayah Arjuna. Langsung membalik badan menatap Arjuna yang malah mengalihkan pandangan. Belajar dari kejadian tempo hari, Panji mencoba untuk tidak bersikap memaksa. Dan kali ini, Panji mencoba memberi ruang lebih dulu. Menurutnya, memaksa itu tidak akan ada hasilnya. Arjuna itu keras kepala. Sepertinya.

"Kasih apa lagi sama Bunda saya? Sakit hati?" tanya Arjuna saat Panji tak kunjung buka suara. Lagi. Tidak menjawab. Pria berstatus ayahnya itu malah berjalan mendekat hingga sekarang tengah berdiri tegap di hadapannya.

Satu tangan pria itu terangkat menepuk bahu Arjuna. Tidak ada penolakan. Percuma jika Arjuna terus mengelak. Orang di hadapannya ini tidak akan cepat-cepat pergi. Itu yang ada di pikiran Arjuna saat ini.

"Kamu bener. Ayah cuma bisa ngasih sakit hati," ucap Panji lalu menyunggingkan senyuman. Arjuna tak merespon. Tatapan matanya begitu datar dengan raut tanpa ekspresi. "Tapi kamu juga anak Ayah. Kamu juga wajib ngertiin Ayah."

"Saya capek. Apa setelah ini Anda bisa pergi?"

Panji memaksakan senyum diantara hatinya yang sakit mendengar ucapan Arjuna. Tidak ingin berlarut, Panji tersenyum lebar.

"Tenangin Bunda kamu. Ayah buat dia nangis lagi," pesannya. Sekilas, Panji bisa melihat kepalan tangan Arjuna. Mungkin, jika Arjuna ingin memukulnya. Ia siap. Sebab, itu salah satu bentuk Arjuna yang sangat menyayangi Amira. Sekalipun yang menyakiti adalah ayahnya sendiri.

Arjuna menyingkirkan tangan Panji yang masih berada di atas bahunya. Kemudian, membuang nafas.

"Permisi," pamitnya lalu masuk kedalam rumah.

Setelah menutup pintu, Arjuna tidak segera beranjak. Ia masih senantiasa berdiri sampai suara mobil terdengar. Barulah ia berjalan menuju kamar sang bunda. Sebelum itu, Arjuna mencoba mengetuknya.

"Bun? Bunda?" panggil Arjuna mengetuk pintu kamar. Detik selanjutnya, pintu itu terbuka. Menampilkan Amira dengan mata sembab. "Bunda baik-baik aja?"

Amira mengusap wajahnya. Lantas tersenyum. "Bunda baik. Bunda mau istirahat. Kamu juga baru pulang. Nanti mandi terus makan ya, nak?"

Tidak membantah Arjuna mengangguk patuh. Pun setelah pintu kamar itu ditutup oleh Amira. Rasanya, ada yang beda dengan Amira. Tapi, apa?

Mengenyahkan sejenak pikiran itu, Arjuna memilih melaksanakan perintah Amira. Hingga saat semuanya telah terlaksana, Arjuna langsung menuju kamar untuk istirahat.

***

Bel istirahat yang berbunyi membuat Arjuna akhirnya bisa menghela nafas lega. Seperkian detik selanjutnya, tubuhnya sudah ambruk di lapangan dengan mata terpejam. Bukan karena pingsan. Arjuna memang cukup kelelahan karena jam pertama hingga bel istirahat ia terus dihukum untuk berdiri di lapangan. Hal itulah yang membuat Arjuna cukup lemas dan memilih menidurkan tubuhnya di atas lapangan yang sebenarnya ikut panas karena menyerap sinar matahari. Untuk kali ini, Arjuna akan menomorduakan rasa malunya. Toh, Arjuna memang sering begini.

Dalam pejaman matanya. Telinga Arjuna jelas masih berfungsi. Ia mendengarkan suara derap langkah kaki yang mendekat padanya. Otaknya langsung berasumsi jika ini adalah guru BK atau tiga teman lainnya. Jika benar, maka sekalian saja Arjuna berakting pingsan. Lumayan Arjuna bisa tiduran di kasur UKS.

ARJUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang