Thalita menghela napasnya kala antrian kasir di depannya masih lama. Perempuan itu—ugh, sepertinya bukan lagi. Dia telah resmi menikah dengan sahabatnya sekitar dua minggu yang lalu. Dan mulai membiasakan diri untuk menjalani hari-harinya di negara Gingseng ini sebagai Byun Tae Ri. Nama barunya. Dia pun sudah sedikit menguasai beberapa percakapan dasar dalam bahasa Korea serta dasar tulisan huruf hanggul.
Oleh sebab itu Thalita memberanikan diri untuk berbelanja di supermarket sendirian. Bang Chan tidak bisa menemaninya karena dia baru saja diterima kerja sebagai karyawan rendahan di industri ikan sarden.
'Yang penting gue kerja. Kagak pengangguran. Lagian duit gue masih banyak. Jadi jangan khawatir, Wifey!'
Begitu yang dikatakan Bang Chan. Alhasil, karena Thalita tidak mau dosa kepada suami, dia hanya bisa setuju dan mendukung pria itu.
Thalita menghela napasnya lelah. Kakinya terasa pegal karena sudah 15 menit berdiri menunggu antrian. Di tambah selangkangannya masih terasa sakit mengingat suaminya itu selalu menggempurnya setiap malam selama seminggu berturut-turut. Beruntung mereka telah menikah, jika belum, Thalita tidak habis pikir bagaimana jika dia hamil sebelum menikah.
Tanpa dia sadari, antrian di depannya telah selesai. Thalita cepat-cepat memajukan troley dan membiarkan sang kasir menghitung belanjaannya. Di saat menunggu sang kasir melakukan pekerjaannya, ponselnya bergetar. Bang Chan meneleponnya.
"Halo?"
"Lo masih di Lotte?" tanyanya to the point.
"Iya. Lagi di kasir."
"Tunggu di situ, gue jemput."
Thalita mengernyit. "Loh? Emangnya udah pulang? Bukannya nanti malem?" Pertanyaan Thalita tidak dijawab. Justru Bang Chan menutup sambungan sebelah pihak.
Thalita mencibir, lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Setelah membayar belanjaannya, Thalita menenteng barang belanjaannya ke luar pelataran supermarket. Seperti yang dikatakan oleh Bang Chan, pria itu datang tak lama kemudian dan menghampiri Thalita. Dia mengambil alih barang bawaan istrinya dan mengecup keningnya sekilas.
"Kok, boleh pulang cepet? Nanti kalo ditegor gimana?" tanya Thalita. Wanita itu melingkarkan tangannya di lengan Bang Chan yang kebetulan saat itu sedang mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana bahan bewarna hitam.
"Gapapa. Biarin aja." Bang Chan terkekeh. Mereka melanjutkan langkahnya menuju parkiran tempat Bang Chan memarkirkan mobilnya.
"Ish, lo ini. Cari pekerjaan susah tau!" protes Thalita.
"Iya gue tau. Lagian yang cabut tadi bukan gue doang. Banyakan. Daripada kerja sendirian, mending gue nge-date sama bini gue, lah!" balas Bang Chan. Langsung disusul dengan cubitan kecil di lengannya.
"Aw! Sakit Tal!"
"Lagian!" Thalita mendengkus. Memilih untuk melempar pandangannya ke langit sore. Tapi beberapa detik kemudian, Bang Chan menghentikan langkahnya. Membuat Thalita ikut berhenti.
"Kenapa, Chan?" tanya Thalita.
Bang Chan tidak langsung menjawab. Pria itu menoleh ke sekelilingnya kemudian menatap Thalita lekat-lekat. "Gak kenapa-kenapa." Bang Chan langsung menggeleng. Pria itu merangkul pinggang Thalita dan melanjutkan langkahnya menuju tempat mobilnya berada. Bang Chan memasukan barang belanjaan di bagasi, kemudian membukakan pintu mobil untuk Thalita. Lalu setelahnya dia masuk dan duduk di kursi kemudi.
Thalita melepas kunciran rambutnya dan bercermin di cermin dashboard. Wanita itu mengusap batang hidungnya kemudian berdecak. "Ck! Kayaknya gue gak cocok deh, sama sabun muka yang baru gue beli," komennya seraya meneliti wajahnya yang kering di kulit bagian hidung dan sedikit bruntusan di bagian keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
yang jahat belum tentu jahat
RomanceSesuci-sucinya manusia pada umumnya, pasti ada sedikit kotoran di hatinya walau itu hanya setitik. Jadi, menurut gue gak ada langkah benar atau langkah yang salah. Bad guy or good guy, that's not important at all. * Note: • ganti judul yang tadinya...