35 | thicker than water

45 15 0
                                    

"Kabarin gue kalau lo udah ada di sana."

Bang Chan memutar kedua bola matanya kala suara Rasya terdengar di telinganya yang terpasang alat komunikasi.

Pria itu menghela napas kala mobil yang dikendarakan oleh Jinho terus melaju di jalanan besar menuju distrik Yhongshan. Bang Chan mengetuk-ketuk jarinya di atas lututnya seraya memandang bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di luar jendela.

Selang beberapa menit, ponselnya bergetar. Alhasil, pria itu melepas alat komunikasi di telinga kanannya dan mengangkat panggilan telepon yang ternyata berasal dari Thalita.

"Kenapa, Yang?" Bang Chan langsung bertanya dengan riang. Menutupi rasa cemasnya dengan sebaik mungkin.

"Kamu udah sampe? Apa masih di jalan?" Thalita langsung bertanya sedetik kemudian.

Bang Chan tersenyum kecil. Pasti appa-nya sudah berbicara mengenai rencananya yang dia ketahui dari Charles.

Adikknya itu memang sebelas dua belas hampir sama dengan Dio—adiknya Thalita yang kadang suka menjadi teman perbacotannya jika terjadi masalah hal sepele—yaitu, sama-sama bermulut lemes.

"Masih di jalan. Kenapa emangnya?"

"Pulang."

Bang Chan mengernyit. Pria itu menegakkan punggungnya dan meneguk ludahnya susah payah. "Maksud kamu, Yang?"

"Jangan pura-pura bego deh, Nyet!" bentak Thalita.

"..."

"Lo denger gue, kan? Pulang sekarang! Gue tau lo belum nyampe sana!"

Bang Chan menghela napasnya kasar. "Tal ... lebih baik kamu tidur. Ini udah malem."

"Lo pikir gue bercanda?!" seru Thalita. Dari nada bicaranya, Bang Chan bisa menebak jika, istrinya itu sedang menahan amarahnya.

"Tal, lo percaya gue, kan?"

"..."

Terjadi keheningan di seberang sana. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara tangisan tertahan. Seketika membuat Bang Chan menjadi khawatir.

"Tal, jangan nangis. Lo gak usah kha—"

"Di kondisi seperti ini lo minta gue buat gak khawatir?!" seru Thalita setengah berteriak.

Bang Chan mati kutu. Pria itu hanya terdiam. Tapi alih-alih dia tersenyum kecil. "Maaf. Udah buat lo khawatir." Bang Chan mengusap wajahnya. "Tapi lo tenang aja. Gue bakal pulang dengan selamat."

"Ck! Setan banget sih, lo!"

"Tal, gue pergi bukan dengan tangan kosong, okay? Gue janji bakal pulang dengan selamat—tutt!"

Sambungan pun langsung terputus, kala Thalita langsung menutup panggilan secara sepihak.

Bang Chan menyenderkan punggungnya seraya menghela napas panjang. Pikirannya tiba-tiba teringat dengan percakapan antara dirinya dengan kakek serta appa-nya tadi pagi. Pria itu tahu, ini terlalu tiba-tiba. Dan dirinya juga belum siap untuk menerima semuanya. Menerima sebuah tanggung jawab—yang sebenarnya telah diberikan oleh Kakeknya sejak 13 tahun yang lalu—yang telah dia tinggalkan dengan secara egois.

Jujur, saat itu, dirinya memang sangat tidak berminat dan jatuhnya sangat kekanak-kanakan dalam bertindak. Walau, yeah, sampai sekarang pun dia tidak memiliki minat dalam dunia bisnis. Walau bisa dibilang Bang Chan cukup cakap mengenai bisnis karena dia terpaksa harus menjadi pengamat para pembisnis di Negeri Ibu Pertiwi dulu saat dia masih menjadi seorang intel.

yang jahat belum tentu jahat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang