Seingat Thalita, malam itu sangat penuh dengan pendramaan. Dia memberontak untuk diturunkan di pinggir jalan kala salah satu dari tiga orang-orang kepercayaan Bang Taejung—kakeknya Bang Chan—membawanya ke bandara. Alhasil terjadi perkelahian di dalam mobil. Thalita memberontak—karena tidak mau dipulangkan ke Indonesia di saat dia belum tahu bagaimana kabar terkini dari suaminya yang pergi ke Yongsan beberapa jam yang lalu.
Dikarenakan sudah menjadi mandat dan tugas besar dari atasan, alhasil para orang-orang kepercayaan Taejung itu membius Thalita agar wanita itu berhenti memberontak.
Kabar baiknya, Thalita baik-baik saja.
Dan kabar buruknya, Thalita berpisah dengan Bang Chan sejauh ribuan mil.
Sekarang, Thalita ada di sini. Terbangun dengan menatap langit-langit kamar yang sangat familiar di matanya.
Ini kamarnya. Benar-benar kamarnya yang ada di Bogor. Perempuan itu mengusap matanya dan menoleh ke arah jendela yang menampilkan bias-bias sinar matahari pagi. Thalita terdiam untuk beberapa saat. Memutar otaknya bahwa dia benar-benar dibawa pergi sejauh itu hingga dia bisa sampai di kamarnya yang ada di rumah orang tuanya.
"Kampret!"
Thalita bangkit dari tidurnya. Rasa nyeri di kepala dan di perut bagian kiri mejalar seakan-akan menyengat tubuhnya.
Tapi, lupakan! Ini benar-benar sangat gila! Bagaimana bisa Bang Chan mengambil keputusan paling tolol macam ini? Kenapa dia seenak jidat membawanya pulang ke rumah orang tuanya!
"Teh Lita udah bangun?"
Kepala Thalita langsung mendongak, mendapati sosok Dio—yang masih mengenakan pakaian tidurnya—yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya. Pria itu berjalan dan duduk di pinggir ranjang. "Teh Lita teu kunanaon, pan?" tanyanya seraya menatap kakanya lekat-lekat. (Teh Lita gak kenapa-napa, kan?)
"Kapan gue nyampe ke rumah? Sama siapa?"
"Anu ... kemarin malem lo dianter sama tiga orang. Diliat dari mukanya sih sebelas dua belas se-gen sama Bang Chandra. Sipit-sipit Chineese begitu, lah. Walau gue tau Bang Chandra orang Korea bukan orang Chin—"
"Tunggu! Gue dibawa sama mereka? Dalam kondisi pingsan?" tanya Thalita memotong ucapan adiknya itu.
"Ngh ... iya."
Thalit memejamkan matanya. "Sekarang mereka di mana? Lo tau?"
Dio mengendik. "Mana gue tau lah, Teh. Gue bukan agen mata-mata kayak lo. Kemaren aja kita rada ragu bawa lo masuk, takut lo dimasukin chip sejenis pelacak atau bom yang dipasang di perut, mengingat musuh-musuh lo yang setara sama teroris."
"Kepala gue pusing."
"Tapi Teh, kok baju lo pas dateng kayak baju pasien rumah sakit? Kata Mama juga perut lo ada bekas luka jahit pas dia ganti baju lo semalem. Lo gak kenapa-napa kan, Teh?" tanya Dio.
"Ma—Mama?"
Dio mengangguk. Rasanya Thalita ingin sekali menghilang detik itu juga.
"Teh, lo nyembunyiin sesuatu, ya?" tanya Dio. Terkadang adiknya itu memang memiliki insting dan feeling yang kuat.
"Nyembunyiin apa? Gue pasti nyembunyiin seusatu, lah!" jawab Thalita. Dio masih menatap Thalita lekat-lekat. Wanita itu langsung cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Orang-orang sipit itu ninggalin sesuau atau apa gitu?" tanyanya.
Dio menghela napasnya. "Lo pasti ngalihin pembicaraan."
"..."
Dio bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja belajar—yang sekarang sudah bertransformasi menjadi meja kerja—kemudian mengambil sebuah map cokelat.
KAMU SEDANG MEMBACA
yang jahat belum tentu jahat
RomanceSesuci-sucinya manusia pada umumnya, pasti ada sedikit kotoran di hatinya walau itu hanya setitik. Jadi, menurut gue gak ada langkah benar atau langkah yang salah. Bad guy or good guy, that's not important at all. * Note: • ganti judul yang tadinya...