10 | kenapa

66 12 15
                                    

"Tal, kamu di mana? Hari Sabtu kamu ada waktu gak? Mama mau ngenalin kamu sama keponakan teman Papa kamu."

"Thalita ... Dek. Mama tahu kok, tapi dia anaknya baik. Mama udah ketemu berkali-kali sama dia. Masa kamu ngehindar lagi, inget sama umur kamu loh, udah kepala tiga masa belom nikah!"

"Dia sama-sama PNS, kok. Kamu tenang aja, Mama yakin dia pasti bisa jaga rahasia. Namanya Bagas. Ganteng kok. Kamu pasti suka. Nanti Sabtu kamu ketemuan sama dia di rumah, biar bisa kenalan ... ck! Kamu ini emang bener-bener ya?! Mama samperin juga kamu ke Jakarta!"

Perkataan mamanya siang tadi terus-menerus terngiang di kepalanya. Thalita terdiam di depan kompor seraya menatap rebusan mie instan yang dia masak. Pikirannya lagi-lagi membawanya pergi sejenak dari dapur apartemennya. Tapi entah kenapa pikirannya justru tertuju kepada sahabatnya itu.

Kenapa harus Bang Chan? Kenapa harus pria itu? Kenapa ... kita berbeda??

Thalita mengusap matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Gak. Gue gak boleh berharap lebih sama si Brengsek itu. Kita gak mungkin bersama. Kita, gue dan dia. Cuma sahabat. Udah itu aja. Titik.

Thalita mengigit bibir bawahnya seraya memegang garpu erat di tangan kanannya.

Tapi kenapa gue ngerasa sakit kalo gue mikirin bakal nikah dan meninggalkan si Brengsek itu?!

"Eonni! Air rebusannya tumpah!"

Suara Hyeji yang duduk di kursi bar sukses membuyarkan lamunannya. Dan tersadar jika mie instan yang dia buat mendidih hingga airnya tumpah membasahi kompor. Alhasil Thalita cepat-cepat mematikan kompor. Kemudian memegang pegangan panci yang sialnya terbuat dari besi. Alhasil Thalita mengaduh kesakitan, seraya mengibaskan-kibaskan tangannya yang kepanasan.

"Tal, lo kenapa?!" tanya Bang Chan yang baru saja keluar kamar setelah mandi. Terlihat wajahnya yang lebih segar dan rambutnya yang masih basah. Pria itu datang menghampirinya dan langsung meraih tangan kanan Thalita dan menelitinya.

"Kenapa gak pake lap pas megang?!" tanya pria itu. Lalu menarik tangan Thalita untuk dibasuh di wastafel. Tapi perempuan itu langsung tersadar, alhasil menarik kasar tangannya.

"Gak apa-apa, kok! Gue gak apa-apa. Lo—lo bumbuin mienya. Gue mau ke kamar mandi dulu." Thalita berbalik badan kemudian berlari ke kamarnya. Bang Chan yang tahu jika ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya itu, lantas mengejarnya. Namun sayang, perempuan itu telah masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya. Tersisa Bang Chan yang berdiri di depan pintu dengan perasaan yang tidak enak.

"Tal! Lo kalo ada apa-apa cerita! Lo kenapa? Sumbilangen? Apa kenapa?" tanya Bang Chan.

"Gue mau boker dulu. Lo sama Hyeji makan aja duluan. Nanti gue nyusul!" ucap Thalita. Perempuan itu menahan sesuatu yang hendak keluar dari bibirnya dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Lalu terduduk di lantai.

"Gue gak apa-apa ... gue gak apa-apa ... lo gak apa-apa, Tal. Lo gak apa-apa ... lo—hiks, hiks ... gue—hiks, hiks ...." Thalita memeluk lututnya dan menangis. Punggungnya bergetar dan matanya terus memanas mengeluarkan air mata.

"Gue kenapa-kenapa ... hiks, hiks ...." Perempuan itu terus menangis di ruangan yang kedap suara tersebut.

Pikirannya lagi-lagi terbayang pria itu. Pria yang membuat dirinya susah untuk membuka hati kepada pria manapun. Pria yang selalu membuat dirinya nyaman namun sekaligus takut karena perbedaan yang menghalanginya.

Kenapa? Kenapa harus lo, Bang Chan?!

Thalita mengigit bibirnya keras seraya terus menangis. "Gue harus gimana, Chan?"

yang jahat belum tentu jahat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang