Thalita baru tersadar setengah jam setelah dirinya dibawa ke rumah sakit oleh Bang Chan. Perempuan itu bersyukur Tuhan mendatangkan sosok Bang Chan di waktu yang tepat. Dan nasibnya pun lebih beruntung ketimbang Syarif yang tewas di tempat. Perempuan itu menatap langit-langit kamar sejenak kemudian menatap seorang pria yang berdiri di dekat jendela.
Bang Chan sedang sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Pria itu menoleh ke arah Thalita yang telah membuka matanya, dan seketika pria itu menyudahi percakapannya.
"Dari siapa?" tanya Thalita.
Bang Chan berjalan mendekat dan duduk di samping bangkar. Pria itu menghela napasnya seraya menatap perempuan itu lekat-lekat.
"Gimana? Ada yang sakit?" tanya Bang Chan.
Thalita menggeleng. "Lo belum jawab pertanyaan gue."
"Dari Rasya. Dia bilang katanya Roni dan Syarif—"
"Chan." Perempuan itu langsung memotong ucapan pria itu. "Jangan dilanjut. Gue udah tahu." Thalita membuang mukanya.
"Tal, ini bukan salah lo." Bang Chan meraih dagu perempuan itu memintanya untuk menatap matanya lekat-lekat. Pria itu mengusap lembut pipinya, menyeka air mata perempuan itu yang entah kapan munculnya. "You doing great," ucapnya lagi.
Thalita menggeleng, dia semakin terisak. Bang Chan mengambil duduk di sampingnya dan menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Memeluknya erat seraya mengecup pucuk kepalanya. "Tal ... gue di sini, jangan nangis." Pria itu mengusap rambutnya tanpa ada niatan untuk melepas pelukannya.
Thalita merupakan tipe orang yang emosional. Tapi dia hanya akan menunjukkannya di depan orang-orang tertentu. Salah satunya Bang Chan. Orang-orang tidak pernah tahu seperti apa sosok Thalita yang sebenarnya kecuali pria itu. Hatinya terlalu rapuh dan sangat tidak sebanding dengan pekerjaannya yang menantang maut.
"Gue gak mau nginep di rumah sakit," ucap Thalita masih menyenderkan kepalanya di dada bidang sahabatnya itu.
"Tapi luka lo belum kering, Tal"
"Gue bisa obatin sendiri."
"Thalita."
"Plis."
Bang Chan mendengkus. Pria itu hanya diam saja. Yang artinya permintaan perempuan itu dikabulkan. Dan benar saja, sorenya mereka pulang ke apartemen. Bang Chan sudah meminta izin kepada orang-orang kantor untuk izin sehari mengurus sahabatnya. Dan entah kenapa orang-orang di sana mengerti dan membiarkan Bang Chan untuk tidak hadir menangani kasus ini sampai besok.
Thalita pun duduk di sofa seraya meluruskan kakinya yang terdapat luka bakar. Perempuan itu menyeruput es boba yang dia rengek minta dibelikan oleh Bang Chan, dan tentu saja langsung pria itu turuti.
Thalita akan menjadi perempuan manja jika sedang sakit. Apalagi kepada Bang Chan. Dan pria itu sama sekali tidak bisa menolak dan justru merasa senang jika sahabatnya itu bermanja-manja dengannya.
"Tal, gue mau nanya." Bang Chan mengambil duduk di samping Thalita.
"Nanya apaan?"
"Apa lo pernah suka sama gue? Maksudnya sedikiiit suka sama gue?"
Thalita terdiam. Perempuan itu batal menyeruput kembali es bobanya. Dia menatap Bang Chan yang juga menatapnya intens.
"Kok, lo nanya yang begituan?"
"Ya ... cuma nanya aja."
Thalita menghela napasnya, lalu terkekeh. "Haram gue suka sama lo, Chan. Palingan gue suka sama style lo doang sama skill nembak lo. Jujur gue ngiri kalo lo dapet poin 10 terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
yang jahat belum tentu jahat
RomanceSesuci-sucinya manusia pada umumnya, pasti ada sedikit kotoran di hatinya walau itu hanya setitik. Jadi, menurut gue gak ada langkah benar atau langkah yang salah. Bad guy or good guy, that's not important at all. * Note: • ganti judul yang tadinya...