12 | pertanyaan retoris

79 14 20
                                    

Thalita Desyanta.

Nama yang sangat misterius di keluarga Mohammad David Arahab. Salah satu teman karib pamannya. Nama itu ada, tapi wujudnya tidak ada. Fotonya hanya sekedar saat dirinya masih kecil dan saat duduk di sekolah dasar. Sisanya disembunyikan.

Bahkan Bagas baru tahu jika keluarga tersebut memiliki seorang anak perempuan, namun dia hanya menganggap jika anak perempuan satu-satunya itu telah meninggal. Tapi ternyata dirinya dibuat tertegun kala istri dari om David mengangkat telepon dari seseorang yang dia panggil Thalita. Dari situ, Bagas dibuat penasaran. Siapa dan di mana anak perempuan yang bernama Thalita tersebut.

Yang akhirnya rasa penasaran Bagas terbayar kala tante Widhi menawarkan untuk memperkenalkan putrinya pada dirinya. Namanya Thalita. Hanya Thalita. Beliau hanya memberi tahu namanya seperti itu. Dia berusia awal 30. Berbeda 2 tahun dengan Bagas yang baru berusia 28 tahun.

"Dia emang sibuk banget. Sampe lupa buat nikah! Sekalinya bawa cowok ke rumah, palingan bawa temen akrabnya dari awal kuliah!" jelas tante Widhi saat itu.

"Dia kuliah di mana, Tante?"

"Dia kuliah di UI, jurusan management. Tapi gara-gara maen mulu kerjaannya jadi baru lulus pas usia 23 tahun," jawab wanita itu. "Tunggu, nih. Tante punya fotonya. Tapi ini pas dulu banget. Waktu dia kuliah semester 4. Ini dia, itu yang di samping dia, temennya." Wanita itu memberikan secarik foto kusam yang Bagas tahu itu pasti dicetak bertahun-tahun yang lalu.

Foto itu terdapat dua orang yang ditangkap ala candid, salah satu di antaranya adalah Thalita yang sedang memeluk pria berperawakan Tiongkok—memekai topi—dari samping. Mereka berdua tersenyum. Pria yang Bagas yakini adalah sahabatnya itu sedikit menundukkan kepalanya sehingga tidak terlihat wajahnya.

Tapi lagi-lagi Bagas dibuat penasaran. "Anak Tante ... gak suka difoto, ya?" tanyanya ragu-ragu.

"Hng ... iya, Bagas. Dia emang gak suka kalo difoto. Itu aja fotonya diem-diem."

"Oh ... mereka kayak pacaran."

"Kalo mereka gak beda agama juga, Tante yakin mereka udah nikah dari dulu. Tapi kayaknya mereka cuma partner—eh maksudnya sahabat."

"Partner? Mereka kerja di tempat yang sama?"

"I—iya. Kayaknya. Soalnya sama-sama di Jakarta. Sama-sama PNS lagi."

"Tapi kenapa dia jarang pulang ke rumah?" tanya Bagas mulai berani bertanya lebih dalam karena rasa penasarannya.

"Biasa ... hidup di Jakarta, lupa pulang, asik sama kehidupannya di sana! Kadang dia emang suka lupa umur! Apalagi kalo lagi dapet tugas di luar neg—maksudnya ada kunjungan dinas ke luar negeri. Makin asik aja dia!" Tante Widhi tersenyum kecil. Namun itu justru membuat Bagas makin penasaran lagi.

"Kamu udah punya pacar?" tanya tante Widhi tiba-tiba.

Bagas tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Belum, Tan."

"Aduh, pas banget! Kamu mau kenalan sama Thalita? Anaknya baik, kok. Palingan mulutnya aja yang gak bisa direm. Apalagi kalo sama temennya si Chandra. Bahasa maung sampe bahasa orang utan aja sampe keluar. Tapi dia baik kok, sopan."

Bagas tertawa kecil mendengar penuturan Tante Widhi. Oh, temennya namanya Chandra.

"Boleh, Tan. Saya boleh minta nomornya?"

Tante Widhi terdiam sejenak. Terlihat sedang berpikir. Tapi tak lama kemudian, dia mengirim nomor anaknya kepada Bagas.

* * *

Di pertengahan jalan menuju markas rahasia, Thalita melepas sim-card ponselnya dan menggantinya dengan yang baru. Perempuan itu mematahkan kartu chip yang lama tersebut menjadi dua bagian kemudian melemparnya asal ke jalanan. Bang Chan hanya diam mengamati sahabatnya itu.

yang jahat belum tentu jahat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang