Thalita benar-benar tidak tahu harus berbuat apa pada kondisinya yang seperti sekarang. Berbaring di atas bangkar dengan Rasya yang berdiri dua meter dari posisinya. Wanita itu hanya bisa terdiam seraya menatap langit-langit ruangan.
"Ngapain lo nyari laki gue, hah?"
Rasya menaikkan salah satu alisnya. "Jadi kalian akhirnya pacaran?" tanya pria itu.
"Pacaran bukan gaya gue." Thalita memutar kedua bola matanya. "Seharusnya gue yang nanya, ngapain lo kemari? Di saat waktu itu gue mohon-mohon bantuan lo."
"Waktu cepat berubah, bukan? Mungkin lo nya aja yang terlalu gegabah."
"Terserah lo. Tapi lo salah mencari orang. Gue ataupun Chris udah gak ada urusan lagi sama kalian. Nama kita udah resmi di-blacklist. Am I right?"
"Kalau lo mau, lo bisa mempertahankan kewarganegaraan lo, jika ikut andil dalam misi ini. Lo ataupun Chris berada sangat dekat dengan target kita."
"Siapapun targetnya, yang pasti lo telat ngomongnya dan gue udah gak tertarik"
"Ta, please."
Kepala Thalita semakin pusing. Perempuan itu memegang kepalanya seraya memejamkan matanya. "Fuck off. We don't want you here"
Rasya tetap terdiam di posisinya. "But we need your help."
"Sya, I think it's enough. Just go, please."
"Ta, gue seri—"
Ucapan Rasya seketika terhenti kala dirinya merasakan sebuah moncong pistol berada tepat di belakang lehernya.
"Apa lo gak punya telinga? Dia bilang kita gak mau lo dan anak-anak curut lo datang kemari." Bang Chan berujar dengan nada dingin. Pria itu tiba-tiba datang dan mengeluarkan pistol yang sengaja dia bawa untuk berjaga-jaga jika kejadian buruk terjadi padanya ataupun pada istrinya.
"Hai Chris, long time no see." Rasya terkekeh kecil, pria itu berbalik badan dan kini berhadapan dengan Bang Chan yang masih menodongkan pistolnya.
"Iya. Lama gak ketemu, tapi sayangnya gue gak kangen sama lo," jawab Bang Chan sarkas. "Mau ngapain lo kemari?" lanjutnya seraya menurunkan senjata apinya itu.
"Gue perlu bicara sama lo."
"Gak ada yang perlu dibicarakan lagi kepada seorang pengkhianat negara macam gue."
Rasya terdiam sejenak, lalu memicingkan mata seraya memiringkan kepalanya. "Gue masih inget lo janji bakal buktiin kalau lo setia sama Indonesia. Lalu apa buktinya?"
"Kondisi gak mendukung gue untuk membuktikannya, Ajikusuma. Silahkan. Lo bisa menilai gue sebagai pecundang. Tapi lo gak bisa menilai hati gue."
"Lo masih bisa membuktikannya, Chris."
"No, I can't."
"Denger, biar gue jelasin. Lo pasti tahu secara gak langsung keluarga lo adalah target utama gue dan yang lain. Tapi gue juga tau, kalo keluarga lo itu terdapat dua kubu. Hitam dan putih. Dan sekarang, posisi lo ada di antara kedua sisi itu. Jadi, lo tinggal pilih mau berada di posisi yang mana?"
"..."
"Itu terserah lo. Tapi gue yakin, lo bakal pilih sisi yang baik, karena gue udah lama kenal sama lo bertahun-tahun. Tapi sandainya jika lo milih sisi yang buruknya. Itu gak masalah, itu artinya lo memilih untuk menjadi pecundang, dan ... kedatangan gue kemari sia-sia."
Bang Chan mengernyit. "Memangnya apa rencana lo dateng kemari?"
"Jika ada cara yang lebih mudah, kenapa harus mempersulit diri dengan menacri cara lain, yang mungkin akan lebih sulit nantinya? Lo tahu kan, di dunia ini ada dua cara orang bermain di dalam kehidupan. Yang baik akan melawan kejahatan. Atau keduanya tidak saling ikut terlibat dan menjalankan sisinya masing-masing tanpa mencampuri setaip pihak. Dikarenakan gue adalah kaki tangan negara, bergerak untuk perdamaian dunia, maka gue harus berada di pilihan pertama."
KAMU SEDANG MEMBACA
yang jahat belum tentu jahat
Lãng mạnSesuci-sucinya manusia pada umumnya, pasti ada sedikit kotoran di hatinya walau itu hanya setitik. Jadi, menurut gue gak ada langkah benar atau langkah yang salah. Bad guy or good guy, that's not important at all. * Note: • ganti judul yang tadinya...