Bang Chan mengusap matanya kala dirinya terbangun di tengah malam. Pria itu menoleh ke arah sampingnya. Mendapati sosok perempuan tengah meringkuk seraya memeluk bantalnya. Wajahnya tertutup oleh rambutnya yang telah dia cat kembali dengan warna hitam. Dia bilang, dia tidak nyaman dengan warna yang mencolok. Alhasil, pria itu membantunya dalam proses pengecatan rambutnya beberapa hari yang lalu.
Mereka memutuskan untuk pergi ke Busan dan memulai semuanya dari awal. Bang Chan dengan segala fasilitas rahasia miliknya—mungkin karena aset keluarga Bang yang masih dia pegang dengan bantuan Thalita yang memegang sandi serta rekening milik kakeknya itu—menyewa sebuah apartemen sederhana di pinggir kota. Ini sudah rentan seminggu sejak pria itu mencabut chip yang terpasang di kepalanya. Selama itu pula, tidak ada pihak Seojun yang mengejarnya.
Bang Chan dan Thalita berniat untuk mengasingkan diri dari negaranya. Awalnya Bang Chan menolak saat Thalita tetap keukeh ingin hidup bersamanya, tapi perempuan itu keras kepala dan akhirnya dia mengijinkan Thalita untuk ikut. Pria itu merasa jika Thalita sedikit ... berbeda?
"Lo belum tidur?"
Bang Chan menoleh, sedikit terkejut kala Thalita sudah mengubah posisinya menjadi duduk dan memeluk lengannya dari samping. Tangan perempuan itu mengusap rambut Bang Chan kemudian mengecup pipinya sekilas.
"Ada apa, Chan?" tanya Thalita.
"Gak apa-apa. Cuma kebangun aja." Bang Chan mendekatkan wajahnya dengan wajah perempuan itu lalu mengecup bibirnya. "Kebangun, ya?" tanya Bang Chan. Thalita tidak menjawab.
"Tidur lagi, yuk." Perempuan itu menarik tangan Bang Chan untuk berbaring.
Pria itu menurut dan kembali membaringkan tubuhnya. Thalita memeluk pinggangnya dan menjadikan dada bidang tersebut sebagai bantalnya. Bang Chan terkekeh, lalu memeluk kembali pinggang perempuan itu seraya mengecup kepalanya.
"Ternyata begini ya, sosok asli lo yang sebenarnya kalo sama pasangan?" tanya Bang Chan.
Thalita terkekeh, "Biasain dong. Nanti kalo udah nikah gimana?"
"Palingan lo gak bisa jalan." Bang Chan lagi-lagi mengecup keningnya. Thalita mendengkus, perempuan itu memukul lengan Bang Chan pelan, dan melepas pelukannya. Perempuan itu memilih untuk membalikkan badannya dan meraih bantalnya, memunggungi pria itu.
Bang Chan tersenyum jahil, dia langsung memeluk Thalita dari belakang dan mengendus leher jenjang perempuan itu. "Are you mad?" tanyanya.
Thalita menghela napas, dan memegang tangan Bang Chan yang melingkar di pinggangnya.
"Lo gak ada niat buat membuktikan ke mereka kalau lo bukan pengkhianat?" tanya perempuan itu di luar konteks.
"Thalita." Bang Chan memanggil namanya. "Kita udah janji buat gak bahas itu lagi."
"Tapi, Chan. Lo bisa melapor mereka ke pihak yang ber—"
"Tal. Cukup. Gue gak mau bahas itu lagi." Bang Chan melepas tangannya dari pinggang Thalita. Pria itu memilih untuk terlentang seraya menatap langit-langit kamar. "Dari awal gue udah bilang. Lo mau pulang ke Indonesia atau hidup dengan identitas baru bersama gue. Dan gue gak memaksa lo, Tal."
Thalita terdiam. Dia membalikkan badannya menghadap Bang Chan. Dia tahu, pria itu bimbang. Apakah dia harus memilih negaranya—yang sekarang telah membuangnya—atau keluarganya yang memiliki fakta jika mereka memiliki tangan kotor penuh darah. Itu pasti pilihan yang sulit.
"Lo tahu, gue berada di titik di mana gue sangat bingung. Keluarga gue mati karena dibunuh oleh sepupu gue—yang entah gue gak tau rencana apa yang lagi dia buat—terus di sisi lain, gue harus nerima kenyataan kalau gue adalah seorang pengkhianat negara. Di tambah Hyeji yang gue sama sekali gak tau apa kabarnya. Dan terakhir lo. Gue takut, lo gak bahagia sama gue, Tal."
KAMU SEDANG MEMBACA
yang jahat belum tentu jahat
RomantizmSesuci-sucinya manusia pada umumnya, pasti ada sedikit kotoran di hatinya walau itu hanya setitik. Jadi, menurut gue gak ada langkah benar atau langkah yang salah. Bad guy or good guy, that's not important at all. * Note: • ganti judul yang tadinya...