34 | don't be sad

62 13 2
                                    

Pagi itu, suasana di ruangan aula salah satu rumah sakit spesialis kanker cukup meriah. Hal tersebut dikarenakan oleh kedatangan salah satu penyumbang terbesar di yayasan rumah sakit.

Beberapa anak dari usia 5-17 tahun menyunggingkan senyum sumringah kepada seorang pria berpakaian tuxedo hitam dengan wajah tampan yang juga tersenyum kepada mereka.

"Kami menyayangi anda, Tuan!" seru seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun yang duduk di barisan paling depan dengan selang infus yang terpasang di tangan kirinya.

Pria yang berdiri di depan para anak-anak penderita kanker itu tersenyum manis seraya menatap bocah tersebut. "Gomawo," balasnya seraya berjalan mendekat ke arah bocah tersebut.

Seojun mengulurkan tangannya dan mengusap kepala bocah laki-laki itu tanpa menghilangkan senyum menawannya. Beberapa kamera wartawan yang mengelilingi aula pun mulai bersilauan untuk memotret dan merekam moment tersebut.

"Apa mimpimu?" tanya Seojun. Pria itu berjongkok agar menyesuaikan tubuhnya dengan tinggi tubuh bocah tersebut.

Bocah itu terdiam, terlihat sedang berpikir dan tak lama kemudian dia menjawab, "Aku ingin menjadi arsitek."

"Tetap semangat. Aku yakin kau bisa mewujudkan cita-citamu iu." Seojun tersenyum lagi.

Walau sebenarnya itu adalah sekian dari senyuman busuk yang dia punya. Lalu kemudian, pria itu memeluk bocah itu, membuat suara jepretan kamera makin terdengar riuh. Beberapa detik kemudian, Seojun melepas pelukannya dan kembali berdiri. Beberapa dari orang-orangnya datang tak lama kemudian dan menuntunnya keluar dari aula, meninggalkan acara santunan terhadap anak-anak penderita kanker tersebut.

"Apa lagi jadwalku sekarang?" tanya Seojun kala berjalan menuju pelataran depan rumah sakit.

"Anda ada pertemuan makan siang dengan Alexander Park," jawab seorang wanita yang berjalan di sampingnya.

Seojun melirik ke arah jam tangannya dan berdecak.

"Kita langsung ke tempatnya saja. aku tidak punya banyak waktu," ucap Seojun, kemudian melebarkan langkahnya dan berjalan lebih dulu disusul oleh beberapa bodyguard berpakaian serba hitam di belakanganya.

Aeri menghela napasnya sejenak. Perempuan itu menatap punggumg atasannya itu dengan tatapan meremehkan, dan kemudian ikut melebarkan langkahnya agar tidak tertinggal.

Drrt drrt drrt!

Seojun menghentikan langkahnya kala ponselnya bergetar. Pria itu langsung mengambil ponselnya dan mendapati sebuah nomor asing meneleponnya. Seojun mendengkus, pria itu sedikit menimang-nimang apakah dirinya harus mengangkat panggilan tersebut atau tidak. Tapi beberapa detik kemudian, dia akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

"Nuguseyo?"

"..."

Terjadi keheningan di seberang sana. Seojun memandang layar ponselnya sejenak, mengira jika sambungan terputus. Namun sayangnya panggilan tersebut masih terus terhubung.

"Nugu—"

"Bagaimana kabarmu, Sepupu?" Suara seseorang memotong kalimatnya.

Seojun terbelalak untuk beberapa detik. Tapi seperkian detik kemudian dia terkekeh sarkas.

"Kau menghubungiku langsung?"

"Haruskah kujawab?"

Seojun mendengkus dan tertawa kecil. "Bagaimana hadiah dariku? Kau menyukainya?" tanyanya.

Di seberang sana, Bang Chan mengeraskan rahangnya seraya mengepalkan tangannya. "Hadiahmu kurang bagus, dan sayangnya gagal di tengah jalan. Lebih baik kau tidak perlu mengirimkanku hadiah apa-apa, Brengsek!"

yang jahat belum tentu jahat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang