prolog

411 36 8
                                    

Sekarang sudah menjelang musim dingin. Orang-orang mulai memakai mantel tebal serta sarung tangan dan syal. Gue pun juga make.

Rambut sengaja gue urai, agar menutupi leher gue yang enggak mengenakan syal—oke, itu suatu kecerobohan—karena terlalu bersemangat dan terburu-buru meninggalkan apartemen untuk menghadiri acara fanbase salah satu boyband asal Korea—negara yang sekarang sedang gue tempati.

Well, sebenarnya gue bukan orang Korea. Tapi identitas gue sudah menjadi warga negara sini. Jadi, secara teknis gue tinggal di negara gue.

Ah, lupakan itu! Pemberhentian bus sebentar lagi, gue harus siap-siap.

Setelah turun dari bus, gue berjalan menuju gedung hotel yang gak jauh dari halte. Di sekitaran trotoar pun sudah dipenuhi oleh para perempuan yang bergerombol seraya memegang lightsick, gue nyebutnya lampu genggam—eh, shut!—jangan protes! Soalnya gue lagi hamil muda! Suami gue juga gak tau pergi ke mana, yang akhirnya buat gue stress hidup di negara orang, walau ini sudah resmi menjadi negara gue—dan beberapa merchendise yang identik dengan boyband tersebut.

Ugh! Sebenarnya gue benci berada di tempat kayak gini. Gue tuh berasa paling kolot di antara perempuan-perempuan muda nan belia ini. Walaupun, gue harus akui, visual gue gak kalah cakep sama Erika Carlina atau Cindy Kimberly.

Jadi intinya, tampang gue ini cukup mencolok dibandingkan orang-orang berwajah imut menggemaskan—mulai dari yang bertubuh gemuk sampai kurus kerontang.

Eh, gak boleh body shaming!

Sebenarnya, gue juga lagi sedikit gemuk—karena faktor kehamilan yang buat gue terpaksa ngemil chiki penuh micin di tengah malam sambil ngemutin kecap—tapi tubuh gue tetep proposional karena gue rajin olahraga walau gue tengah hamil.

Dan lihat sekarang, orang-orang natap gue karena tubuh gue yang cukup tinggi, 167cm, dengan perut yang membuncit—anyway, ini sudah masuk 16 minggu ngomong-ngomong.

Loh? Kok, malah ngomongin kehamilan, sih?!

Tujuan gue kesini kan, buat ketemu seseorang yang udah gue rindukan setengah mati.

Bukan.

Bukan para personel boyband tersebut. Mereka hanya perantara gue saja. Gue malas ngejelasinnya, karena sekarang gue menjadi pusat perhatian. Sial!

"Ya! Kenapa kalian melihatku seperti itu??!" kesal gue. Berbicara bahasa Korea dengan logat yang kaku. Persetan jika bahasa gue kasar.

Setelah mengatakan hal tersebut gue melengos seraya mengusap perut yang sudah agak membuncit itu. "Sabar, Nak. Kita bakal ketemu orang yang mirip sama daddy kamu."

Akhirnya setelah menunggu hampir sejam, gue dan segerombolan penggemar itu diarahkan menuju aula. Orang-orang berteriak kegirangan kala para personel boyband yang bernama Stray Kids itu muncul ke atas panggung.

Gue tahu, gue bukan penggemar mereka. Tapi salah satu di antara mereka sukses membuat gue mabuk kepayang dan rela mengeluarkan uang untuk membeli semua poster dan juga memaksakan diri untuk menonton setiap sesi live streamingnya—melalui aplikasi yang bernama Vlive itu—walau gue gak mengerti apa yang dibicarakan.

"KYA!! FELIXE!"

"KYA!! HYUNJINIE ... SARANGHEYO!!"

"JEONGIN! CHANGBIN! MINHO! BANG CHAN! JISUNG! SUNGMIN!"

Aw... Kuping gue!

Gue mendengkus, mengusap telinga seraya memegang perut gue. Entah kenapa perasaan gue jadi merasa enggak enak. Tapi gue gak tahu, apakah ini menandakan baik atau buruk.

yang jahat belum tentu jahat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang