Anya pergi ke kamarnya. Berganti baju dengan cepat. Anya turun ke dapur, ia bertemu dengan Jeremy di sana. "Apa yang sedang Kakak lakukan?" tanya Anya.
"Membantu Bi Asri menyiapkan makan malam." balas Jeremy sambil memotong daun bawang menjadi potongan kecil. Tangannya bergerak dengan lincah.
Bi Asri melihat keahlian Jeremy dan tidak bisa tidak terpukau karenanya. "Tuan Muda sangat ahli melakukannya."
"Kakak sangat ahli, 'kan, Bi?" Anya tersenyum.
"Benar, Nona." Bi Asri ikut tersenyum bersama Anya. "Karena Tuan Muda pekerjaan Bibi terbantu banyak."
"Kak Jeremy memang yang terbaik, Bi."
"Sudahlah, Anya." seru Jeremy sambil tetap fokus memotong sayuran lainnya.
Anya berhenti menggoda Jeremy, jika diteruskan Kakaknya yang pemalu itu bisa berubah menjadi kepiting rebus.
"Apa Bibi ada keranjang buah?"
"Ada, Nona." balas Bi Asri. "Biar Bibi ambilkan dulu."
Bi Asri mengambil keranjang buah dari lemari dan memberikannya pada Anya.
"Terima kasih, Bibi." kata Anya. "Kak, aku pamit ke rumah Aksa."
"Untuk?"
"Aku ingin memanen buah apel." seru Anya sambil berlari keluar. Jeremy bahkan tidak sempat menghentikan saudarinya itu.
Anya menyeberangi jalan, mengetuk rumah Aksa berulang kali.
"Aksa!" panggil Anya. "Aksa! Ini Anya."
Anya sedikit menjauh dari pintu setelah mendengar langkah kaki dari dalam. Pintu dibuka, pakaian Aksa masih berwarna sama seperti sebelumnya.
Anya rasa selain di sekolah, Anya tidak pernah melihat Aksa memakai pakaian lain yang tidak berwarna putih. Lupakan, Aksa tetap seperti peri apa pun yang ia kenakan.
Aksa menatap keranjang buah yang dipegang Anya.
"Aku ingin memetik apel." Anya mengangkat keranjang buah itu. "Aku kemari untuk meminta izin."
"Ambil saja." balas Aksa. Tangannya menarik pintu untuk menutup.
"Tunggu." Anya menahan pintu sebelum tertutup. "Bantu aku. Pohon itu terlalu tinggi, aku tidak bisa mengambilnya sendiri."
Aksa menatap kaki Anya yang lebih pendek darinya. Anya mengikuti arah pandang Aksa, ia sedikit berjinjit agar tidak terlihat terlalu pendek.
"Tangga ada di sana." Aksa menunjuk tangga yang ada di samping rumah. Tangan Aksa menarik lagi pintu untuk menutup namun lagi-lagi Anya menahannya.
"Tolong aku kali ini saja." pintanya.
Aksa tidak peduli, ia tetap menarik pintu.
"Lusa." Anya berkata dengan cepat. "Aku tidak akan menganggumu saat lusa nanti. Jadi, bantu aku, ya?"
Tangan Aksa berhenti memegang pintu. Itu tawaran yang menarik. Apalagi setelah hari ini, di mana Anya berusaha mengajaknya berbicara sepanjang hari. Tetapi, mengapa harus lusa? Mengapa tidak seterusnya saja?
Aksa menatap Anya penuh curiga. Anya tersenyum semanis yang ia bisa. "Kamu bisa memegang kata-kataku. Aku tidak akan mengganggumu sehari penuh lusa nanti."
Aksa masih menaruh curiga. Namun, ia menggulung lengan bajunya dan melangkah ke halaman. Anya bersorak senang di dalam hatinya.
Aksa mengambil tangga yang ada di samping rumah dan meletakkannya ke pohon apel. Menaiki tangga satu per satu secara perlahan. Aksa menghela napas, ia lelah. Seharusnya Aksa menolak saja.
Anya memetik beberapa apel yang bisa dijangkaunya. Sambil memetik perlahan, Anya memperhatikan setiap gerakan Aksa dengan tatapan berbinar.
Perinya sangat perhatian di balik wajahnya yang tidak mau berinteraksi. Aksa mengulurkan tangannya untuk mengambil salah satu apel. Mata Anya semakin melebar. Cahaya, pose, dan modelnya sangat pas. Aksa terlihat sangat indah.
"Berhenti!" teriak Anya nyaring.
.
.
.23 Januari 2021
.
Sudah tiga hari, 'kan?😅
.
Selamat Membaca
.
Red
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN (END) - SEGERA TERBIT
Teen FictionDILARANG PLAGIAT!!!! BOLEH SUKA TAPI KALAU SAMPAI COPY PASTE, UBAH NAMA ATAU INTINYA PLAGIAT! INGAT, ITU DOSA!!!! JIKA KALIAN MENEMUKAN PLAGIAT TOLONG BERITAHU. TERIMA KASIH . . . Anya Kirania Pratista mendapatkan ingatan masa depan lewat sebuah mi...