Stiletto hitam Wenda terus mengetuk lantai mengikuti entakan kaki diikuti gerakan tangan yang terus menggores dalam buku catatan. Ia merekam setiap ucapan yang terlontar dari mulut Saga. Wenda memastikan tidak ada satu kata yang terlewat dari rungunya.
Kegiatan inspeksi ke setiap hotel merupakan rutinitas Saga untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Well, Saga bukanlah tipe pemimpin yang hanya akan percaya pada laporan. Ia ingin memastikan secara langsung dengan kedua matanya.
"Pak Gian, saya rasa harus ada peningkatan untuk bagian resto. Saya amati selama beberapa bulan ini tidak ada perubahan yang signifikan. Jangan terlalu nyaman dengan zona yang sekarang," terang Saga setelah memindai promo yang tercetak di papan restoran hotel Lovey Inn, salah satu hotel bintang 4 di kawasan Jakarta Pusat. "Bebek hitam Madura, Iga Bakar, bukankah ini menu sudah dipajang 4 bulan ini? Sangat membosankan."
Pria dengan kacamata bingkai tipis samping Saga menelan ludah, satu butir peluh tampak menetes dari kening. Ia lantas menyekanya dengan buru-buru.
"Baik Pak, akan segera saya komunikasikan," terang pria paruh baya tersebut.
"Saya dapat laporan, tim F&B di sini kurang kompatibel. Kalau tidak bisa diajak berlari ...." Saga menjeda ucapannya sambil melipat tangan. Hawa dingin seketika mencubit kulit Wenda sebab mata Saga yang memicing berang. "Pak Gian tahu harus melakukan apa. Banyak orang yang butuh pekerjaan dan bisa bekerja dengan sungguh-sungguh. Saya nggak suka sama pegawai yang terlalu santai."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," tutur Gian.
Kaki Wenda kembali mengayun mengikuti langkah lebar Saga. Sesekali ia mengernyit karena rasa tidak nyaman di kaki. Baru bekerja selama dua minggu di Gunawan group, kaki Wenda harus diplester di beberapa tempat sebab lecet. Setiap pulang bekerja ia harus mengompres kakinya yang terasa pegal. Well, setiap hari ia harus melakukan mobilitas yang tinggi di atas sepatu cantik penuh siksaan itu.
"Ke ruangan saya setelah ini. Saya minta rekapan laporan semua hotel budget hotel kita," pinta Saga dari kursi penumpang. Fokusnya masih tersita penuh pada layar ipad tanpa memberikan tatapan pada Wenda yang duduk di kursi samping kemudi.
"Baik, Pak." jawab Wenda lalu kembali mengatur napasnya yang terengah. Mengikuti langkah Saga sama dengan berlari di treadmill.
Helaan napas keluar dari bibir Wenda, sesekali manik matanya melirik Saga dari spion mobil. Pria dengan rambut yang senantiasa diikat ke belakang itu masih sibuk dengan grafik pada layar ipad. Tampak meneliti dengan seksama perubahan garis tersebut. Kantung mata yang tercetak jelas menjelaskan jika Saga kurang tidur.
"Bukankah dia terlalu keras sama dirinya sendiri?" batin Wenda ketika irisnya dipenuhi dengan pribadi Saga.
Pria itu selalu sibuk setiap waktu, bahkan ketika di apartemen, Wenda tidak pernah melihat lampu ruangan kerja Saga padam. Well, ini memang tidak sopan. Setiap duduk di balkon apartemen sambil menikmati secangkir matcha, Wenda selalu bisa melihat Saga sibuk dengan layar ipad atau macbook. Tampak tenang dan sulit terganggu. Jika ada yang bilang Saga mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pekerjaan, jelas itu tidak salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)
RomanceADULT AREA! WARNING 21+ Kata orang, patah hati akan lebih mudah sembuh dengan kehadiran hati yang baru. Namun, Wenda justru menutup rapat hatinya setelah berulang kali diselingkuhi oleh Dion. Hati Wenda menjadi sulit tersentuh dengan rasa yang dise...