Bab 3

1.7K 223 71
                                    


Sorot matahari yang garang selalu disuguhkan ibukota Indonesia ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sorot matahari yang garang selalu disuguhkan ibukota Indonesia ini. Kulit yang sedari tadi panas terbakar langsung sejuk sebab embusan ac dalam lobi. Kaki Wenda melangkah masuk ke dalam lift sambil menyeret dua koper berukuran 32 inch. Tidak banyak barang milik Wenda yang dibawa, hanya beberapa baju dan perlengkapan pribadi lainnya.

Semesta cukup berpihak pada Wenda kali ini. Setelah mengirimkan lamaran kerja di The Royal 8, Wenda langsung mendapatkan panggilan untuk wawancara pertama. Besok adalah jadwal wawancara kedua dengan DOSM atau manajer yang membawahi departemen sales dan marketing. Maka dari itu, Wenda pindah ke apartemen Tika lebih awal agar tidak terburu-buru esok harinya.

Cetakan angka digital yang berhenti seketika membuat pintu lift terbuka. Wenda menarik dua kopernya dengan susah payah. Sesekali terdengar suara mengeong dari tas transparan yang berada di gendongan.

"Kita tinggal sementara di sini ya, Bontot," ucap Wenda sambil meneliti angka unit yang terpasang di pintu. "Ah itu."

Wenda berjalan menyusuri lorong dengan pencahayaan yang cukup. Perpaduan warna abu-abu dan hitam mendominasi setiap dinding dan pintu apartemen. Memencet angka digital pada gagang pintu lalu terbuka. Ini bukan pertama kali Wenda mengunjungi tempat tinggal Tika. Dua tahun lalu, ia kerap menginap di apartemen mewah tipe duplex itu. Sebagai pengusaha mebel, tentu bukan hal sulit bagi orang tua Tika untuk memberikan fasilitas tersebut.

Setelah berjalan beberapa langkah, Wenda langsung disambut jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta. Gedung pencakar langit tempat berdiri gagah sepanjang mata memandang. Satu set sofa putih masih tertata di tempatnya dengan lampu gantung model cincin. Tidak banyak yang berubah dari suasana dalam apartemen sejak dua tahun lalu. Warna dindingnya yang putih dengan arsitektur tembok model abstrak menambah kesan minimalis. Tika juga menambahkan satu sofa tunggal di sudut ruangan lengkap dengan meja kecil untuk menikmati teh atau kopi di malam hari.

Tidak ingin membuang waktu, Wenda lantas merapikan barang miliknya pada kamar utama apartemen. Setelah itu memberi makan kucing oranye kesayangan dan menikmati satu bungkus nasi padang. Well, sejak pagi lambung Wenda memang belum terisi makanan.

Baru akan meneguk es teh yang baru saja dibuatnya, gerakan tangan Wenda terhenti. Ia memasang rungu baik-baik. Suara gemuruh di luar apartemen membuat bulu kuduk Wenda merinding. Apartemen mahal ini tentu saja dilengkapi fasilitas kedap suara. Berulang kali Wenda memijat daun telinga untuk memastikan suara gemuruh tersebut.

Sambil mengumpulkan keberanian, Wenda berjalan mengendap untuk melihat keluar unit apartemen untuk memastikan suara asing tersebut. Ia sesekali meneguk saliva kasar. Takut jika bukan manusia yang akan ditemuinya nanti. Bisa saja apartemen Tika mendadak angker karena sudah dua tahun tidak dihuni. Pun Tika sering bercerita hal aneh ketika menginap di sana.

Kepala Wenda keluar dan menoleh ke kanan kiri, tidak ada makhluk hidup selain dirinya. Lantas ia keluar apartemen seraya memanjangkan leher, memastikan kembali tidak ada sesuatu yang janggal.

We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang