Bab 34

332 39 2
                                    

Setelah mengobrol cukup lama dengan Wenda, Tika masuk ke kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mengobrol cukup lama dengan Wenda, Tika masuk ke kamarnya. Bola mata Tika mengedar ke sudut kamar seraya memeta cat dinding yang sudah luntur. Well, tidak terlalu buruk untuk harga sewa yang ditawarkan. Meskipun Tika harus mengecat ulang kamar tersebut supaya lebih nyaman.

Kembali merogoh saku untuk mengambil ponsel lalu menghubungi Saga. Setelah terdengar dua kali nada sambung, suara berat Saga tertangkap rungu Tika.

"Halo, gue udah pindahan ke kost Wenda."

["Oke makasih, Tik. Saya lebih tenang kalau Wenda ada temannya di sana."] Saga masih menggunakan bahasa formal sebab belum begitu akrab dengan Tika. ["Kamu udah dapat kerja? Di dekat kost Wenda ada kafe teman saya, kamu bisa kerja di sana."]

"Belum sih. Gue mah santai, cuma kalau ada tawaran yang bagus boleh juga."

["Besok kamu bisa kesana. Wenda baik-baik aja 'kan?"]

"Baik, meskipun masih sedih. Gue nggak tahu rencana lo apa, cuma kalau sampai lo punya niatan buat nyakitin Wenda, gue nggak akan tinggal diem!" ancam Tika sambil menggeram.

["Ini nggak akan lama. Apa Wenda udah mulai daftar kerja?"]

"Setau gue dia udah lamar ke Euphoria Hotel, Moon Crown hotel sama mana ya, gue lupa. Pokoknya masih satu grup sama hotelnya Pak Aditama."

Tidak terdengar suara sahutan dari Saga beberapa menit. ["Aditama grup ya."]

"By the way, lo ngapain kirimin gue duit banyak banget? Meskipun keluarga gue nggak setajir lo, tapi gue masih bisa memenuhi kebutuhan gue. Minta rekening lo, gue transfer balik," ujar Tika seraya melemparkan tubuh di ranjang berukuran single.

["Itu buat Wenda. Aku minta tolong kamu beliin semua kebutuhan Wenda selama dia belum dapat pekerjaan."]

"Dih, gue pikir buat gue." Tika mencibir. Sebenarnya ia agak sedikit malu karena sudah terlalu percaya diri.

["Kamu mau juga? Kalau mau saya bisa kirim secepatnya."]

"Nggak! Ya udah deh, gue matiin telponnya. Bye!" Panggilan mereka terputus, Tika yang melakukannya.

Bangkit dari kasur yang lumayan empuk, Tika membuka jendela agar ada sirkulasi udara. "Hah, hubungan mereka rumit banget sih."

Sementara itu di tempat yang berbeda, Saga tengah berdiri di dalam kamar setelah menerima panggilan dari Tika. Sejak Wenda keluar dari perusahaan, Saga menemui Tika dan meminta wanita itu untuk menemani Wenda. Saga ingin Wenda tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Setidaknya kehadiran Tika bisa membuat Wenda merasa tidak sendiri dan sedikit terhibur.

Salah satu tangan Saga dimasukkan ke dalam saku, sementara tangan yang lain bergulir di layar ponsel untuk mencari nama Narendra, salah satu pewaris properti Aditama grup.

"Halo, Narendra. Sorry ganggu kamu, tapi ada sesuatu yang mau aku sampaikan," ucap Saga.

["Hai Saga, tentu sampaikan aja. Apa yang bisa aku bantu?"]

"Ini nggak ada niatan buat nepotisme, tapi aku mau rekomendasiin sales manager buat hotel kamu. Dia sudah berpengalaman dan capable."

["Oke, tapi bukan aku yang ngurus masalah perekrutan karyawan. Semua diurus sama HRD perusahaan."]

"Iya aku tahu, mungkin kamu bisa sampaikan ke staf kamu buat mempertimbangkannya."

["Baiklah, katakan siapa namanya? Kebetulan ini aku sedang bersantai sama GM Moon Crown."]

"Sarwendah Hutama," tukas Saga tanpa ragu. "Mungkin kamu bisa mempertimbangkannya untuk ikut bergabung di perusahaan kamu."

["Sarwendah Hutama. Oke aku akan langsung sampaikan."]

"Terima kasih banyak, Narendra. Mohon maaf jika merepotkan."

["Jangan sungkan, Saga. Kita adalah relasi yang bergerak di bidang yang sama. Oh ya, kalau kamu ada waktu, datanglah ke acara pembukaan sky lounge di daerah Sudirman."]

"Oh ya, tentu aku akan menyempatkan waktu. Terima kasih untuk undangannya."

["Senang bisa membantumu, Saga."] Panggilan mereka terputus, Narendra yang melakukannya.

Sembari melakukan panggilan tadi, kaki Saga terus melangkah hingga masuk ke kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin wastafel. Paras Saga yang dibingkai rambut hitam dan tubuh dibungkus kemeja putih terpampang di benda persegi panjang tersebut.

Sesekali tangan Saga mengetuk di pinggiran wastafel dengan motif marble dan didominasi warna putih itu. Saga pernah merasakan kesedihan yang teramat ketika kehilangan sang ibu. Sekarang ia terlalu takut hal itu terulang lagi. Sebab jika hal buruk terjadi pada Wenda, bukan hanya Saga yang terluka. Keluarga Wenda pun ikut tersakiti. Saga tidak ingin menjadi orang yang egois untuk terus bersama Wenda. Menjaga jarak sesaat adalah pilihan yang tepat. Semoga saja.

Senyum tipis tercetak kala Saga melihat Wallpaper di ponselnya. Bibir Wenda melengkung indah sembari menyandarkan kepala di pundak Saga. Hati Saga kembali berdebar. Belum pernah ia mencintai seorang wanita sebesar ini.

"Aku kangen kamu, Wen," gumam Saga dengan nada kelewat lirih.

***

Sabiru meletakkan tasnya di sofa sembari melepaskan dasi yang mengikat leher. Wajahnya yang semringah membuat sang istri ikut mengulas senyuman. Berjalan mendekat dengan segelas teh hangat, Anggita mendapatkan kecupan di pipi saat menghidangkan minuman tersebut untuk Sabiru.

"Terima kasih, Sayang," ucap Sabiru diikuti bibir melengkung ke atas.

"Ada apa ini? Kelihatannya bahagia banget." Anggita meletakkan cangkir di atas meja. Selama beberapa hari ini raut Sabiru selalu kusut setelah pulang kerja. Ia tidak berani bertanya karena tabiat sang suami yang emosional.

"Habis dapat kabar baik saja dari pekerjaan." Sabiru lantas merengkuh pinggang sang istri dan mencium pundaknya. Tentu saja suasana hati Sabiru sedang baik setelah mendengar Saga berpisah dari Wenda. Ia merasa sudah berhasil memberikan ancaman kepada Wenda untuk menjauhi Saga. "Anak kita udah tidur?"

"Sudah dari tadi," jawab Anggita yang kemudian melepaskan rengkuhan sang suami dan membalikkan badan. "Sayang, bagaimana kalau galeri Mama aku yang urus?"

Dahi Sabiru berkerut, "kamu mau ngurus galeri Mama kamu? Bukannya udah banyak kerjaan ya?"

"Nggak juga kok. Itu salah satu peninggalan terakhir Mama, aku pengen mempertahankannya," tukas Anggita sedikit ragu.

Senyuman Sabiru terulas dan tidak langsung menolak permintaan sang istri. Ia berencana menghancurkan bangunan tersebut dan menggantinya dengan pusat perbelanjaan karena lokasinya sangat strategis. Mengusap pipi sang istri dengan lembut lalu berucap, "itu bisa kita atur nanti, setelah aku menjadi pemimpin dan menggantikan Papamu."

"Benarkah? Kamu mengizinkannya?" ujar Anggita dengan raut semringah.

"Kita bisa diskusikan itu lagi, Sayang. Semua masalah keluarga kamu akan selesai." Sabiru menjeda ucapannya sesaat seraya menatap iris hitam sang istri lekat-lekat. "Biarkan aku yang menanggung beban perusahaan Papa kamu, dan melepaskan Saga dari tekanan untuk menjadi pemimpin di sana."

"Yah, dia sudah terlalu banyak menderita, apalagi setelah kepergiaan Mama," tutur Anggita yang lantas mendongakkan kepala menatap sang suami. Anggita selalu menganggap Sabiru sebagai pahlawan dalam keluarganya. Tidak sadar jika keberadaan Sabiru seperti mata pisau yang mampu mengoyak semua anggota keluarga Gunawan. "Terima kasih."

Sabiru kembali mengulas senyum lalu memeluk erat sang istri. Keputusan untuk menikahi Anggita memang tepat, sebab wanita itu mudah diperdaya hanya dengan kata manis berlandaskan cinta. "Sama-sama, Sayang. Aku akan melakukan apapun demi keluargamu."

TO BE CONTINUED.... 

Selamat pagi, Lovelies. Wenda dan Saga bisa dibaca sampai gratis di Karyakarsa yak, selamat membaca ^^ 

We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang