Bab 12

1.1K 128 11
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Beberapa detik yang lalu, Wenda masih terdiam seribu bahasa. Hingga ketika sudah duduk di kursi samping kemudi bersama Saga, ia tidak bisa lagi menahan diri.

"Pak Saga maksudnya apa? Tiba-tiba datang dan ngaku jadi kekasih saya?" Wenda menjeda ucapannya sebentar sambil membuang napas berat. "Wow kekasih. Bapak enteng sekali mengucapkan kata itu di depan Dion. Kekasih dari mana? Bahkan kita nggak pernah sedekat itu dan bisa disebut sebagai pasangan."

Saga masih tidak menggubris serentetan kalimat yang terlontar dari bibir Wenda. Ia melajukan mobilnya dalam kecepatan yang sangat pelan. Sesekali ia melirik ke arah Wenda dari ekor mata. Wanita itu masih mengoceh tanpa jeda.

"Pak Saga dengerin saya 'kan? Pak Saga bisa nggak jelasin ke saya apa maksud dari ucapan bapak tadi?"

Menghentikan mobil dalam sekali pijakan, Saga membuat tubuh Wenda sedikit memantul karena berhenti mendadak.

"Aduh, hati-hati dong Pak!" seru Wenda sambil memegangi seat belt yang melilit tubuh.

Menoleh ke arah Wenda dengan tatapan lurus tanpa ekspresi. "Kamu cukup bilang terima kasih, daripada ngoceh terus kayak burung beo."

"Saya butuh penjelasan, Pak. Pak Saga datang terus bilang kayak gitu, siapa yang nggak kaget? Saya bukan tipe wanita yang akan senang karena tiba-tiba diakui sebagai pacar sama orang kaya seperti Pak Saga," celetuk Wenda panjang lebar. "Coba jelasin, apa maksud Bapak?"

"Nggak ada maksud terselubung," jawab Saga datar.

"Berarti Pak Saga mempermainkan saya?" Sekarang kedua mata Wenda melotot ke arah Saga.

"Saya bantu kamu biar nggak dilecehkan sama mantan kamu. Coba kalau saya nggak datang? Kamu bisa dibawa sama dia dan entah apa yang akan terjadi," jelas Saga. Lalu ia melirik pada paha Wenda yang sekarang tertutup oleh jas yang semula dililitkan pada pinggangnya. "Lagian kenapa kamu tiba-tiba pakai rok mini kayak gitu?"

"Nyonya Bianca yang minta, Pak. Saya bisa apa selain menurut?" cicit Wenda.

Menghela napas setelah mendengar nama ibu tirinya disebut. Saga sudah berulang kali memberi peringatan kepada wanita itu untuk tidak ikut campur masalah kantor. Tetapi sepertinya diabaikan.

"Kamu nggak perlu ikutin mau dia. Pakai pakaian yang membuat kamu nyaman, tetap sopan dan rapi. Nggak ada peraturan khusus kalau sekretaris harus pakai rok yang seksi kayak gitu," terang Saga dengan pandangan lurus ke jalanan depan apartemen mereka.

"Soal tadi, saya masih tetep nggak terima sama bantuan bapak. Karena Pak Saga, saya dapat masalah baru. Sekarang saya harus ke pernikahan Dion. Argh! Makasih tumpangannya." Wenda membuka pintu mobil lalu turun.

Membanting pintu lalu bergegas untuk melenggang. Namun, langkah Wenda tertahan. Ia menghela napas kasar sebelum kembali berceletuk panjang lebar.

"Pak Saga kalau mau minta maaf sama saya itu udah telat, Pak. Lain kali kalau mau jadi pahlawan harusnya Pak Saga juga mikir dong negative effectnya. Sekarang tolong lepasin saya, Pak. Saya mau masuk!" Wenda menarik tasnya tanpa menoleh. Namun, tidak ada pergerakan.

We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang