Suara panci yang beradu dengan kompor, serta ketukan pisau pada talenan memenuhi ruangan apartemen yang ditinggali Wenda sore itu. Sepulang bekerja ia sudah berkutat di dalam sana untuk menyiapkan bubur dengan kemampuan alakadarnya. Well, masakan Wenda bisa dibilang sangat lezat. Tetapi ia selalu merasa tidak seenak buatan ibu di rumah.
Dengan telaten, Wenda menaburkan suwiran ayam ke atas mangkuk. Tidak lupa irisan daun bawang yang menambah aroma sedap dan semakin menggelitik lambung. Asap tipis yang menguar dari mangkuk tersebut membuat Wenda menghidunya. Gurih yang tercipta dari campuran santan semakin meyakinkan Wenda jika hidangan kali ini memuaskan.
"Okay, Pak Saga udah balik belum ya?" Manik mata Wenda melirik pada jam yang tergantung di dinding. Ia lantas meraih sarung tangan dapur untuk menghindari panas yang ditransfer dari mangkuk bubur tersebut.
Wenda melangkah keluar dari apartemen lalu berjalan menuju ke apartemen Saga. Cukup berulang kali Wenda memencet bel untuk mendapatkan sahutan dari tuan rumah. Hingga beberapa menit kemudian, pribadi Saga muncul dari balik pintu dengan rambut gondrong yang acak-acakan. Matanya membentuk garis lurus, mungkin masih menahan rasa tidak nyaman di tubuh.
"Permisi, Pak. Gimana keadaan Pak Saga? Apa udah mendingan setelah minum obat?" tanya Wenda sembari memindai raut wajah Saga yang tidak terlalu pucat. Warna kemerahan sudah sedikit tampak.
"Ehm." Saga mengangguk. "Lumayan."
"Oh syukurlah," ucap Wenda ikut mengangguk. Lalu ia mengulurkan bubur ayam panas tersebut pada Saga. "Ini saya buat bubur ayam buat Pak Saga."
Saga tidak langsung menerima bubur yang masih menguarkan asap tipis itu. Iris gelapnya justru memandangi Wenda lurus-lurus. "Saya nggak minta bubur sama kamu."
Wenda seperti ditolak mentah-mentah dengan jawaban yang terlontar dari bibir Saga. Sepertinya pria itu memang belum memahami konsep empati dari seseorang. Lantas Wenda sedikit mendengus sambil memutar otak mencari jawaban.
"Enggak sih, saya cuma mau ngasih aja. Karena biasanya orang sakit itu malas ngunyah, Pak. Jadi bubur bisa jadi solusi supaya perut tetap terisi," jawab Wenda kemudian.
"Saga siapa itu? Itu siapa?" Suara anak kecil terdengar semakin mendekat. Lalu bocah gemuk dengan rambut yang dikuncir dua itu mengintip dari belakang tubuh Saga.
Wenda menundukkan kepala pada Kimmy yang sedang menatap ke arahnya penuh tanya. Mata bulat bocah itu tampak menebak sosok Wenda yang tidak asing. Well, mereka pernah berjumpa sekali.
"Halo, Kimmy," sapa Wenda dengan senyuman merekah. "Ini bubur, Kimmy mau?"
"Bubur? Saga punya bubur, ada di dalam bubur. Di sana," celoteh Kimmy sambil menunjuk ke arah dalam apartemen.
Meskipun sulit mengerti bahasa bayi, tetapi Wenda sedikit paham. Mungkin maksud Kimmy, Saga sudah mempunyai bubur juga di dalam. Ah, pantas Saga tadi menanggapi pemberian Wenda dengan kecut. Rupanya pria itu mau memberikan penolakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)
RomansaADULT AREA! WARNING 21+ Kata orang, patah hati akan lebih mudah sembuh dengan kehadiran hati yang baru. Namun, Wenda justru menutup rapat hatinya setelah berulang kali diselingkuhi oleh Dion. Hati Wenda menjadi sulit tersentuh dengan rasa yang dise...