Bab 2

2.2K 235 82
                                    

Suara pantofel hitam yang mengetuk lantai, membuat beberapa staf mencuri lihat dari balik kubikel mereka. Kabar pertengkaran Wenda dan Dion tempo hari sudah tersebar di seluruh departemen Golden organizer. Wenda melangkah tanpa ragu dengan map dalam genggaman. Keputusannya untuk keluar dari perusahaan itu sudah bulat.

Golden Organizer merupakan bukti nyata tumbuh kembang karir Wenda. Setelah lulus kuliah dan usaha orang tuanya bangkrut, Wenda hijrah ke ibu kota. Ia bekerja di sebuah event organizer milik orang tua Dion hampir selama 4 tahun.

Perusahaan besar itu lantas ditangani langsung oleh Dion sebagai putra pertama. Wenda yang ingin membuktikan bahwa dirinya layak menjadi menantu keluarga Bagaskara bekerja dengan sangat keras.

Hingga dalam waktu satu tahun setelah bergabung, Golden Organizer berkembang dengan sangat pesat. Puluhan klien berdatangan dan memasrahkan semua jenis acara mereka kepada tim. Wenda yang memiliki mimpi akan mengelola perusahaan itu bersama Dion hingga berkeluarga, kandas di tengah jalan. Maaf untuk Dion sudah habis.

Suara pintu yang terbuka diikuti ketukan pantofel menjejak lantai, menyita perhatian Dion dari layar macbook.

"Apa ini?" tanya Dion ketika Wenda menyodorkan map yang berisi surat pengunduran diri.

"Surat pengunduran diri," tandas Wenda dengan posisi berdiri tegak menantang Dion.

Kedua mata Dion membola. Ia hampir tidak percaya dengan keputusan besar yang diambil sang kekasih. "Pengunduran diri? Kamu jangan bercanda Wen."

Dion lantas bangkit dari duduknya lalu menghampiri Wenda. Ia meraih kedua tangan wanita itu dan berusaha memberikan penjelasan. Well, Wenda bagaikan pilar di Golden Organizer. Jika ia keluar, maka akan mempengaruhi pendapatan perusahaan. Semua klien berada dalam kendali Wenda.

"Wenda, semua yang terjadi kemarin bisa kita bicarakan baik-baik. Keluarga kita udah ngomongin tanggal pernikahan loh," cicit Dion.

Wenda melemparkan sorot mata tajam ke arah Dion. Pun ia menghempaskan genggaman tangannya dengan kasar. "Aku nggak peduli, Dion!"

"Wen, aku harus ngomong apa sama Mama Papa?" tanya Dion diikuti air muka mengiba.

Senyum miris tercetak di bibir merah jambu Wenda. Alih-alih merasa bersalah, Dion justru mengkhawatirkan dirinya sendiri. "Kamu pikir aja sendiri! Pakai otak kamu, jangan cuma mikirin selangkangan aja!"

Setelah mengucapkan kalimat yang cukup menjatuhkan harga diri Dion, Wenda keluar sambil menegakkan pandangan. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan setelah keluar dari perusahaan tersebut. Well, meskipun sekarang Wenda harus memutar otak untuk segera mencari pekerjaan baru. Kehidupan di Jakarta tidak murah. Bahkan untuk berteduh dan mengisi lambung saja, Wenda harus mengeluarkan rupiah.

"Wenda! Wen!" Panggilan dari Dion diabaikan oleh Wenda. Lalu ia memukul udara guna melampiaskan kekesalan seraya menyugar rambut frustrasi. "Hash!

***

Pohon hijau yang tumbuh di depan kafe Sepenggal Kenangan memberikan pasokan oksigen yang melimpah. Pun daunnya yang tumbuh lebat terasa sangat meneduhkan di tengah kota Jakarta yang terkenal panas dan banyak polusi udara.

Sambil menunggu Tika yang sedang sibuk melayani para pengunjung kafe, Wenda duduk di salah satu kursi. Ia menghirup oksigen dalam hingga dadanya mengembang lalu dilepaskan pelan sebelum panggilan dengan sang ibu tersambung.

["Halo, Wen."]

"Ibu, kenapa kok suaranya kayak gitu? Ibu sakit?" tanya Wenda ketika mendengar suara parau ibunya.

["Nggak kok, Nduk. Ibu baik-baik saja."]

Jika mendengar suara sang ibu seperti ini, pasti ada hal buruk yang terjadi. "Ibu jangan bohong. Ada apa Bu? Cerita sama aku."

We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang