Jemari Wenda masih berselancar di layar ponsel sambil meneliti nama hotel dalam kota. Ia memperhatikan dengan seksama jumlah kamar yang tersedia melalui online travel agent. Namun, sudah sebanyak sepuluh hotel bintang yang menurut Wenda nyaman untuk Saga ternyata penuh. Well, mungkin dikarenakan malam minggu, sehingga banyak yang ingin menghabiskan waktu untuk bersantai sejenak di penginapan.
Wenda menggigit bibir bawah sambil sesekali melirik ke arah Saga yang sedang fokus mengemudikan mobil rentalnya. Alih-alih menggunakan mobil operasional yang ditawarkan oleh Jaka, Saga lebih memilih mobil rental agar tidak m
engganggu aktivitas Lovey Inn. Ia memang tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk kepentingan diri sendiri.
"Gimana, udah dapat belum hotelnya?" tanya Saga sambil memutar kepala ke arah Wenda.
Dalam gerakan yang bersamaan, Wenda ikut melemparkan tatapan ke layar ponsel sebelum bertatap muka dengan Saga. Ia tidak ingin kepergok Saga jika sedang mencuri lihat. Melihat Saga menyetir untuknya saja sudah sedikit membuat canggung. Well, tidak ada pilihan selain duduk di kursi samping Saga. Tentu saja Wenda tidak ingin Saga seperti supir jika ia duduk di kursi penumpang.
"Ehm, saya masih cari, Pak," ujar Wenda yang sudah sampai di baris paling bawah. Hanya tersisa hotel melati yang menawarkan penginapan dengan harga ramah. "Pak Saga mau hotel yang seperti apa?"
"Yang penting nyaman," jawab Saga sambil mengamati bangunan candi prambanan yang berdiri gagah di kiri jalan. Ia pernah sekali mengunjungi tempat bersejarah antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso itu ketika berumur 8 tahun. Saat itu ia bersama keluarga besarnya yang berasal dari Solo. Sebagai agenda perpisahan sebelum Saga dan keluarga pindah ke Jakarta untuk menetap.
Wenda memutar matanya sambil berpikir keras. Jawaban dari Saga sama sekali tidak memberikan solusi. Pasalnya Wenda tidak mengetahui tingkat nyaman Saga itu seperti apa. Bukankah tingkat nyaman seseorang itu berbeda? Wenda akan nyaman di tempat yang bersih meskipun sempit, asal harganya ramah di kantong.
"Ini masih lurus?" tanya Saga yang membuat Wenda terkesiap.
"Ehm ... ini masih lurus, Pak." Wenda memajukan tubuh sambil memperhatikan jalanan yang hampir setahun tidak dilaluinya. Terakhir kali Wenda pulang kampung, lebaran tahun kemarin. "Nanti belok ke kanan setelah lampu merah kedua, Pak."
"Kamu yakin?" Saga ragu dengan nada bicara Wenda yang kurang meyakinkan.
"Yakin, Pak. Saya masih inget kok jalan ke rumah saya," jawab Wenda.
"Jangan sampai kamu bikin saya tersesat, ya," tambah Saga dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
Wenda hanya mendengus menanggapi ucapan Saga. Meskipun baru saja melakukan kebaikan untuknya, sikap Saga sama sekali tidak ramah. Masih saja ketus, dingin dan sedikit menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)
Roman d'amourADULT AREA! WARNING 21+ Kata orang, patah hati akan lebih mudah sembuh dengan kehadiran hati yang baru. Namun, Wenda justru menutup rapat hatinya setelah berulang kali diselingkuhi oleh Dion. Hati Wenda menjadi sulit tersentuh dengan rasa yang dise...