Bab 17

1K 105 12
                                    

Tidak ada kata yang terucap dari bibir Wenda ketika dengan cekatan tangannya mengobati luka sedikit terbuka di pundak Saga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada kata yang terucap dari bibir Wenda ketika dengan cekatan tangannya mengobati luka sedikit terbuka di pundak Saga. Pun ia memberikan antiseptik pada luka robek telapak tangan pria tersebut. Tampaknya darah yang berceceran di lantai semalam berasal dari sana.

Meskipun Wenda sangat ingin tahu apa yang dilakukan Saga semalam, tetapi rasa sedih membungkamnya. Ia merasa tidak tega harus melihat tubuh Saga lebam dengan luka di beberapa bagian. Entah pria itu bertengkar atau sudah dianiaya oleh satu kelompok. Wenda hanya bisa menahan bibir untuk tidak berucap.

"Saya siapkan air hangat." Wenda langsung beranjak dari duduknya dan melenggang ke kamar mandi.

Tidak ada yang dilakukan Saga selain melemparkan tatapan pada Wenda. Punggung wanita itu perlahan menghilang di balik pintu kaca dan terdengar suara gemericik air dari kran.

Dengan telanjang dada dan hanya handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya, Saga berjalan ke dalam kamar mandi. Wenda masih memeriksa suhu air dalam bathtub.

"Butuh bantuan?" tanya Wenda yang membuat raut wajah Saga menegang. Ia memastikan jika tidak salah dengar.

"Kamu mau bantu saya mandi?" Saga mempertegas tawaran Wenda.

"Luka Pak Saga baru saja diobati, sebaiknya tidak terkena air." Iris kecokelatan Wenda tampak menghindar untuk bertatapan dengan Saga. Jelas terlihat ia menghindari hal tersebut.

"Baiklah. Mungkin cukup diseka saja," terang Saga sembari berjalan mendekati Wenda dan duduk di bibir bathtub. Pinggiran tempat berendam yang cukup lebar mampu membuat bokong Saga dan Wenda duduk dengan nyaman.

Seperti ketika Wenda mengobati luka Saga sebelumnya. Kini hening juga menyelimuti mereka. Tidak ada sepatah kata yang terucap dari bibir Wenda. Perubahan sikap Wenda yang semula cerewet membuat Saga tidak nyaman dengan situasi tersebut.

Lalu sebelum berucap, Saga mengembuskan napas pelan. "Kamu nggak mau tanya sesuatu?"

Tubuh Saga langsung berputar ke arah Wenda. Kini mereka saling berhadapan. Namun, Wenda masih menghindari kontak mata bersama Saga.

"Tidak ada." Wenda menarik tangan Saga dan menyeka lengannya dengan pelan.

Suasana hening kembali menyelimuti mereka. Kedua mata Saga lantas mengarah pada Wenda dan menatapnya dalam-dalam. Entah mengapa ada dorongan dalam hati Saga untuk menceritakan kejadian semalam kepada Wenda.

"Semalam Tante Bianca telepon aku. Bilang kalau lagi di Bali bareng Kimmy." Mendengar penjelasan dari Saga, gerakan menyeka dari Wenda berhenti perlahan. Ia terlihat siap mendengarkan cerita dari Saga. "Aku langsung buru-buru buat cari Kimmy. Nggak sengaja, pisau yang sebelumnya aku pakai buat motong apel kena telapak tanganku."

Kedua mata Wenda mengikuti telapak tangan Saga yang terbuka, memperlihatkan perban yang melilit di sana.

"Setelah itu ada segerombolan preman yang menghadang dan ... aku jadi babak belur." Percakapan mereka menjadi lebih santai dengan penyebutan dari Saga yang berubah.

"Preman? Jadi Pak Saga digebukin sama preman?" Raut wajah khawatir Wenda kembali muncul dan dijawab anggukan kepala oleh Saga. Wenda lantas memeta lebam yang tertinggal di tubuh Saga. Bagian sudut bibir, pundak dan pelipisnya. "Terus gimana keadaan Kimmy?"

"Dia baik-baik aja," jawab Saga. Ia tidak bisa mengalihkan tatapan nanar dari Wenda. Ketakutan jelas terpancar dari kedua mata wanita itu.

"Hah! Syukurlah." Helaan napas lega lolos dari bibir Wenda. Sekeranjang batu yang tadinya terasa menghimpit dada perlahan menghilang begitu saja.

"Itu alasanku mengajakmu bersandiwara," tambah Saga.

"Untuk melindungi Kimmy?" Wenda menegaskan. Lalu dijawab Saga dengan anggukan kepala.

"Yah, melindungi Kimmy dari keluarganya yang sangat berbahaya," tambah Saga.

Wenda merasakan betapa besar kasih sayang Saga kepada Kimmy. Hingga ia rela melakukan semua hal untuk bocah kecil itu.

Untuk pertama kalinya, Saga tidak menahan emosi yang akan meluap saat bersama orang lain. Sebelumnya ia selalu menahan diri untuk meluapkan isi hati.

Sebelum melanjutkan ceritanya, Saga kembali melepaskan napas kasar. "Kimmy cuma punya aku. Mama pergi setelah melahirkan dia. Sementara Papa, nggak menginginkan Kimmy ada."

Tangan Wenda sontak menggenggam jemari Saga ketika melihat genangan air di kedua matanya.

"Kimmy cuma punya aku, Wen. Aku akan melindungi dia, meskipun nyawaku taruhannya," tambah Saga.

Air mata pertama Saga yang menetes di hadapan orang lain langsung diusap oleh Wenda. "Kamu nggak sendiri. Aku akan ikut jaga Kimmy."

Bibir Wenda mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir. Seakan ada dorongan dalam hati untuk ikut serta meringankan beban Saga. Bersamaan dengan ucapan serta sentuhan Wenda, jantung Saga kembali bergetar. Setelah sekian lama jantung itu mati rasa, kini perlahan menampakkan debarannya.

"Kimmy akan baik-baik saja."

"Dia harus baik-baik saja, Wen." Saga menjeda ucapannya sebentar lalu melanjutkannya. "Dia harus baik-baik saja.

Tatapan Saga yang sangat berbeda, membuat Wenda ingin sekali memberikan pelukan. Ia ingin menenangkan hati pria dingin yang semula dibelanya itu.

Kini, Wenda tahu jika Saga juga pribadi yang pandai berpura-pura. Ia sedang berpura-pura menjadi seseorang yang kuat dan bisa melewati semua hal seorang diri. Namun, tetesan air mata Saga kali ini menjelaskan jika pria itu bisa rapuh dalam sekali sentuh.

"Yah, Kimmy akan baik-baik saja. Pasti." Genggaman tangan Wenda semakin mengerat. Ia menengadahkan kepala sambil mengembuskan napas kasar untuk menahan air matanya agar tidak tumpah.

"Maaf," ucap Saga kemudian. Kedua mata Saga menoleh lalu memberikan tatapan intens pada Wenda. Seolah ia harus meminta ampun kepada wanita itu.

"Untuk apa?"

"Karena udah buat kamu khawatir. Buat kamu tidur di sofa." Saga tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Pasti leher kamu sakit."

"Khawatir? Terlalu percaya diri," cicit Wenda berdusta.

"Emang nggak? Kemarin Pak Rizwan cerita semuanya sama aku, katanya kamu sampai nangis dan mau telepon polisi.

Kedua pipi Wenda langsung memerah sebab malu. Ia ingin menghilang saat itu juga. "Bukannya apa-apa. Aku takut kalau ada penculikan atau hal yang buruk lainnya."

Saga masih memperlihatkan senyuman semringahnya. Tarikan bibir yang jarang ditampakkan oleh Saga selama ini.

Mendadak Wenda merasa canggung dengan perkataan Saga. Well, sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Ia jelas khawatir sampai tertidur di sofa menunggu Saga kembali.

"Aw! Wen!"

Wenda menoleh kaget ketika baru menyadari jika kakinya menginjak Saga saat berdiri.

"Sakit Wen." Saga meringis.

"Ma-maaf. Sa-sakit banget ya? Aduh, maaf." Kontan Wenda langsung mengecek kaki Saga penuh rasa bersalah. Lalu Saga kembali tersenyum lebar. Semakin lama bersama Wenda, rasa bahagia seakan datang menyelimuti hatinya.

"Bersiaplah, kita harus datang di acara makan siang. Kemarin kita sempat melewatkan acara itu. Jadi kita harus datang kali ini," ujar Saga yang tidak bisa menyembunyikan debaran hatinya ketika melihat sikap konyol Wenda. Wanita itu benar-benar mampu menjungkir balikkan hati Saga. Well, mungkin setelah ini dunia Saga yang akan dijungkir balikkan oleh Wenda.

TO BE CONTINUED.... 

Selamat pagi, Lovelies. Siapa yang kangen Saga dan Wenda? Langsung baca yuk! Di Wattpad akan update satu minggu sekali, dan karyakarsa dua hari sekali. Buat teman-teman yang mau baca lebih cepat bisa langsung meluncur ke karyakarsa yak. Selamat membaca ^^

We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang