Suara ketukan pantofel disusul pintu ruangan yang terbuka kontan membuat Wenda dan Hesti beranjak dari duduknya secara bersamaan. Pribadi Saga dan salah satu klien berkebangsaan Australia keluar dari ruangan sambil berceletuk singkat.
Kedua mata Saga melirik pada Wenda sekilas lalu kembali melangkah. Sikap sedingin es itu kembali lagi setelah semalam Wenda seperti melihat pribadi yang berbeda darinya. Alih-alih diam dan menampilkan raut wajah tanpa ekspresi, Saga terlihat murah senyum ketika berada di tengah keluarga Wenda. Pun tidak sungkan mendengarkan setiap cerita ayah Wenda mengenai keterpurukan pabrik kayu hingga PHK besar-besaran. Pujian demi pujian beberapa kali terucap dari bibir Saga untuk masakan desa yang dibuat oleh Maryati.
Ketika akan kembali meletakkan bokong di kursi, Saga memutar tubuh dan membuat Wenda menahan gerakannya. Ia langsung memberikan fokus penuh kepada sang atasan dengan senyuman tipis terulas di wajah.
"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Wenda.
"Saya mau makan siang sama Pak Andreas. Kamu bisa rapikan berkas saya di dalam ruangan dan siapkan keperluan meeting di Bali minggu depan," titah Saga diikuti gerakan mata yang memindai penampilan Wenda. Blouse dan celana panjang melekuk tubuh ramping Wenda. Terlihat lebih nyaman dilihat dibandingkan rok mini yang selalu digunakan oleh Hesti.
"Ba-Baik, Pak." Mengamati gerakan mata Saga yang menelisik setiap lekuk tubuhnya, tangan Wenda spontan menutupi bagian dada. "Ada yang salah, Pak?"
"Nggak ada. Emang lihat aja nggak boleh?" jawab Saga dengan ketus. "Jangan biarkan orang lain masuk ke ruangan saya." Pria berkulit pucat itu lantas membalikkan tubuh dan melenggang pergi begitu saja.
Salah jika Wenda mengira Saga bisa bersikap ramah seperti saat bersama keluarganya. Ia lantas mencibir, dengan sikap pura-pura Saga kemarin. "Hishhh! Dasar!"
Siku Hesti yang menyenggol lengan, membuat Wenda terkesiap. Ia menoleh kepada Hesti sebelum bertutur, "ada apa, Mbak?"
Hesti mencondongkan tubuhnya dan berbisik di salah satu telinga Wenda, "ada RI 2."
"RI 2?" Wenda bergumam sambil mengerutkan kening. Ia tampak berusaha mengingat untuk siapa sebutan itu diberikan.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut berombak yang tergerai, berjalan dengan dada yang membusung bangga. Ia tampak ingin menunjukkan posisi dalam kantor tersebut. Suara ketukan wedges mengaung di lorong dan terdengar semakin mendekat ke ruangan Saga, tepat di depan Wenda dan Hesti berdiri.
Wenda segera berlari mengikuti langkah Hesti. Mereka berpindah tempat untuk menyambut kedatangan istri kedua Gunawan. Menganggukkan kepala dengan kedua tangan yang terlipat sopan di depan pangkuan.
"Pak Saga baru keluar, Bu." Bibir Wenda berucap begitu saja dan membuat langkah Bianca terhenti.
Wanita dengan make up tebal itu itu melepaskan kacamata hitamnya lalu memindai penampilan Wenda dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Terus kenapa kalau Saga keluar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)
RomansaADULT AREA! WARNING 21+ Kata orang, patah hati akan lebih mudah sembuh dengan kehadiran hati yang baru. Namun, Wenda justru menutup rapat hatinya setelah berulang kali diselingkuhi oleh Dion. Hati Wenda menjadi sulit tersentuh dengan rasa yang dise...