Tangan Wenda spontan mendorong tubuh Saga untuk menjauh darinya. Gerakan menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga dilakukan untuk mengusir rasa gugup di depan Saga.
"Nggak apa-apa," ucap Wenda sambil melenggang. "Sebentar lagi sunset."
Setelah memastikan Wenda pergi menjauh, Saga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu seorang pria dengan rambut yang dikuncir ke belakang secara keseluruhan melebarkan senyuman sambil mengacungkan jempol ke arahnya. Saga tidak memberikan reaksi selain menganggukkan kepala santun.
"Apa dia sudah dapat foto yang terbaik?" gumam Saga lirih. Lantas ia mengayunkan langkah mengikuti Wenda.
Jejak kaki kecil Wenda yang terbentuk di pasir putih pinggir pantai Kuta, membantu Saga untuk tidak kehilangan keberadaan wanita ceroboh itu. Embusan angin sore menerbangkan helaian rambut sebahu Wenda yang sesekali menutupi wajahnya yang ayu.
Sambil tersenyum dan terus mengamati punggung Wenda, Saga menginjak tapak kaki Wenda yang tercetak di atas pasir putih. Jejak kaki yang semula kecil kini melebar sebab tumpukan jejak kaki Saga yang lebih besar. Tidak ada alasan Saga melakukan hal itu, hanya ingin saja.
Panorama yang disuguhkan salah satu pantai di sisi barat itu tampak memesona. Hamparan laut biru yang menampakkan pantulan bias jingga seakan memanjakan mata. Keindahan tersebut ditambahkan dengan kilauan warna khas waktu senja, menandai matahari akan mulai terbenam. Luar biasa indah.
Setelah berlari-lari kecil, Wenda meletakkan bokongnya di salah satu kursi pantai yang berjejeran dengan jarak dekat. Pun beberapa payung juga terpasang untuk melindungi kulit dari sinar matahari yang terik di siang hari. Lalu tangannya melambai spontan kepada Saga.
"Pak! Duduk sini, kita lihat sunset!" teriak Wenda.
Tanpa kata, Saga langsung menghampiri Wenda dan duduk di sebelahnya tanpa jarak. "Kenapa masih panggil, Pak? Kita lagi pura–pura pacaran."
Mendengar kalimat Saga, Wenda menoleh ke kanan dan kiri. Hanya ada beberapa pasangan yang ikut duduk di kursi pinggir pantai dan sebagai berlarian di tepian. Mereka tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Nggak ada juga yang kenal kita, Pak. Saya belum terbiasa panggil nama ke Pak Saga."
Saga melemparkan pandangan ke hamparan laut lepas sambil menghirup oksigen ke dalam paru-paru. "Ya udah, nanti malam kamu jangan panggil saya Saga."
"Nanti malam?" Kening Wenda berkerut lalu ia menepuk kepala spontan. "Astaga! Saya lupa kalau nanti malam ada acara para pemilik hotel se–Indonesia."
"Ck! Kamu jangan suka menyakiti diri sendiri," pungkas Saga sambil melirik Wenda dari ekor mata.
Wenda hanya meringis, menanggapi peringatan Saga barusan. Lantas ia menikmati panorama Pantai Kuta yang sayang untuk dilewatkan. Warna di permukaan air yang berubah menjadi jingga seketika merubah suasana menjadi romantis. Hening tercipta sesaat, kala Wenda dan Saga terpesona dengan pemandangan sore itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)
RomanceADULT AREA! WARNING 21+ Kata orang, patah hati akan lebih mudah sembuh dengan kehadiran hati yang baru. Namun, Wenda justru menutup rapat hatinya setelah berulang kali diselingkuhi oleh Dion. Hati Wenda menjadi sulit tersentuh dengan rasa yang dise...