BAB 41

287 25 0
                                    

Gunawan duduk di sofa tunggal sambil sesekali menyunggingkan senyuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gunawan duduk di sofa tunggal sambil sesekali menyunggingkan senyuman. Ia menatap lurus ke arah pria renta yang sedang meneguk minuman hangat di hadapannya, dengan meja panjang yang melintas dan membatasi mereka.

"Sementara Sepenggal Kenangan masih belum ganti kepemilikan, Pak. Mas Saga bersikeras untuk mengubah nama kepemilikan itu," tukas Kakek Cipto kepada Gunawan.

"Anak itu selalu saja tidak sabaran," desah Gunawan. Ternyata selama ini ia meminjam nama Kakek Cipto untuk kepemilikan kafe tersebut. Karena rasa bersalah kepada sang mendiang istri, Gunawan tidak ingin menghilangkan salah satu properti yang memiliki banyak kenangan bagi Saga itu.

"Dia selalu duduk di kafe sambil menikmati secangkir teh hijau atau chamomile," tambah Kakek Cipto.

"Itu minuman favorit Mamanya." Gunawan menjawab seraya menyatukan beberapa potongan memori yang satu per satu muncul di atas kepala.

"Sepertinya mereka sangat dekat." Kakek Cipto melanjutkan.

"Yah, sangat dekat," jawab Gunawan. Sejak kecil memang Saga lebih dekat dengan sang ibu alih-alih Gunawan. Sikap otoriter Gunawan membuat Saga membuat jarak dari ayahnya itu.

Jika tidak bisa memenuhi ekspektasi Gunawan, maka Saga akan masuk ke black room, ruangan rahasia untuk memberikan hukuman kepada sang putra. Yah, hanya diberikan kepada Saga sebagai satu-satunya putra penerus kerajaan bisnis Gunawan.

"Untuk sementara, jangan ubah kepemilikan kafe itu. Saya minta bantuan Pak Cipto sebentar lagi," pinta Gunawan.

Kakek Cipto mengangguk dan dengan senang hati memberikan bantuan sebab balas budi yang sempat diberikan Gunawan di masa lampau.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi." Kakek Cipto bangkit dari duduknya lalu diikuti oleh Gunawan.

"Biar diantar sama Rizwan," tutur Gunawan.

"Terima kasih banyak." Wajah Kakek Cipto yang sudah keriput membentuk lipatan sebab tarikan dari kedua sudut bibirnya. "Saya permisi."

"Rizwan." Panggilan Gunawan menahan langkah Rizwan yang semula akan mengikuti Kakek Cipto.

"Ya, Tuan."

"Apa Saga baik-baik saja setelah pertemuan kemarin?" tanya Gunawan cukup khawatir. Well, Gunawan tidak pandai mengungkapkan rasa sayang untuk Saga. Baginya ia sudah melakukan yang terbaik untuk Saga sebagai seorang ayah.

"Tuan muda justru yakin untuk tetap maju. Dia berangkat ke kantor seperti biasa dan lebih bersemangat," terang Rizwan.

"Apa benar dia putus dengan gadis itu? Siapa namanya?" Kening Gunawan berkerut mengingat nama Wenda, gadis yang beberapa kali sempat bertatap muka dengannya.

"Wenda?"

"Yah, wanita itu."

"Sepertinya sudah, Tuan. Wenda juga sudah tidak bekerja di perusahaan lagi," terang Rizwan.

We Shouldn't have a kiss! (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang