Hampir dua bulan tidak bertemu, jarang berkomunikasi dan selalu ada bertabrakan jadwal setiap ada kesempatan, adalah situasi yang sejujurnya membuat Jimin sedikit jenuh dengan hubungannya.
Nana sibuk, sangat sibuk bahkan. Kontrak dua tahunnya sebagai pemenang acara adalah penyebab utama. Bahkan, ia hampir tak pernah pulang ke rumah karena terlalu sibuk dengan kegiatan yang padat merayap. Jadi, bagaimana bisa ada waktu untuk Jimin?
Seperti saat ini. Jimin hanya berbaring di ranjang apartemennya tanpa tahu harus melakukan apa. Ada banyak pesan yang ia kirim ke Nana, tapi satupun tidak ada yang dibaca. Akhir pekan memang waktunya sibuk untuk pemilik restoran dan cafe.
Apakah Jimin paham itu?
Ya, sangat paham malah. Hanya saja dia benar-benar di ambang kejenuhan karena terus diduakan dengan pekerjaan.
Laki-laki manis itu berdecak, lantas turun dengan kaki telanjang menuju kulkas. Diraihnya salah satu botol minuman beralkohol yang harganya cukup mahal, juga cangkir berisi es batu. Di depan meja makan yang menghadap jendela, ia menuang minuman sambil memperhatikan pemandangan malam yang terhias lampu beragam warna.
Minum sendirian sebenarnya menyedihkan, tapi setidaknya bisa membuat ia sedikit melupakan masalah yang terjadi. Sebelum akhirnya harus kembali menghadapi.
Di gelas yang ketiga, layar ponselnya tiba-tiba berkedip. Jimin, dengan kepala yang mulai berat, segera meraih benda pintarnya dan membaca pesan yang tertera.
Senyumnya muncul. Sinis. Terdorong kesal karena selalu mendapat janji yang sama. Ya, Jimin tahu Nana tidak akan menghubungi dan juga tidak akan mengangkat panggilannya. Sebabnya? Tentu saja lelah setelah seharian bekerja.
Harusnya Jimin mengerti. Tapi dua bulan terombang-ambing dalam hubungan yang tidak pasti membuat hatinya lelah. Jangan tanya berapa kali dia meminta Nana berhenti karena uangnya lebih dari cukup untuk digunakan, tapi tak satupun permintaan itu dikabulkan. Nana bersikukuh ingin terus bekerja, dan beginilah mereka sekarang.
Setelah menenggak gelas terakhir, Jimin meraih ponselnya dan bangkit dengan terhunyung. Kepalanya benar-benar berat sekarang, bahkan setiap benda di ruangan pun seperti bergerak dalam penglihatannya.
Ia menepuk pipi, coba menyadarkan diri dari mabuk yang membelenggu. Tetapi, dia malah berakhir di sofa. Terbaring dengan pipi dan mata yang memerah.
Lupakan masalah pernikahan yang sudah ia rencanakan dari November. Jangankan membahas itu, untuk mendapat waktu sepuluh menit bicara pun sekarang sulit.
Coba menyusul Nana ke tempat bekerja? Dia sudah lakukan. Tapi ramainya pengunjung membuat niat itu diurungkan.
Menyusul ke rumah? Dia hanya mendapati Nana yang tertidur pulas setelah mandi. Tidak ada kesempatan mengobrol sama sekali, bahkan hanya sekedar bertanya kabar dan memberi ciuman hangat penawar rindu.
Laki-laki itu meringis, menutup matanya dengan lengan dan menarik napas dalam-dalam. Kesepian yang dirasa sangat menyiksa. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengatasi.
Dering panggilan coba menyadarkan Jimin yang hampir tertidur. Sembari meringis, laki-laki itupun meraih ponselnya yang tergeletak di meja.
"Mm, yeoboseo?" sapanya dengan suara berat.
"Yeoboseo? Jimminie?"
Itu Mia, istri Jeon Jungkook. Kenapa pula dia menghubungi malam-malam begini?
"Ada apa?" Dengan kepala yang semakin berat, Jimin berusaha duduk. Ia mendesis, memijit pelipisnya yang berdenyut.
"Kau di apartemen, 'kan? Ada yang mau kuberikan."
Jimin melirik jam di ponsel. Baru jam sembilan ternyata. "Mm, datanglah," putusnya.
"Oke. Sepuluh menit lagi kami sampai."
Tidak ada jawaban dari Jimin. Ia langsung menaruh ponsel ke meja, lalu kembali merebahkan diri. Sepuluh menit sepertinya cukup untuk mengurangi efek mabuk yang menyiksa.
-♪
Singkat waktu, Jungkook, Mia dan juga Miku akhirnya sampai di apartemen Jimin. Suami dan anaknya menunggu di mobil untuk menghindari sasaeng atau siapapun yang mungkin mengenal, dan Mia yang pergi memberikan kue yang tadi mereka beli.
Dua kali Mia menekan bel, tapi Jimin tak kunjung datang membuka pintu. Mau tidak mau, Mia pun menghubungi laki-laki tersebut melalui ponsel. Bagaimanapun, dia tidak ingin Miku dan Jungkook menunggu terlalu lama di mobil.
Dua kali menghubungi tidak juga dijawab, Mia pun menyerah. Dia memutuskan untuk batal memberi kue, tapi ketika baru berbalik, suara pintu dibuka membatalkan niatnya.
"Maaf membuat--omo! Hati-hati!" Mia kaget ketika Jimin tiba-tiba limbung dan hampir jatuh. Beruntung, dia sigap menahan dan bergegas memapah Jimin masuk ke dalam.
"Yak... kenapa kau bisa semabuk ini?" tanya Mia panik sambil merebahkan laki-laki yang pernah mengisi masa lalunya tersebut. "Apa terjadi masalah?"
Jimin menghela napas panjang. "Bisa ambilkan aku air? Aku haus," pintanya dengan mata tertutup.
Terdorong rasa tidak tega meninggalkan, Mia pun menuruti permintaan Jimin. Tak lupa, dia juga mengirimkan pesan ke Jungkook yang pasti tengah menunggu. Semoga suaminya itu tidak marah.
"Hei... kenapa kau tiba-tiba mabuk?" Mia bertanya sambil menyerahkan minuman ke Jimin. Ditatapnya sendu laki-laki tampan yang tengah meneguk air di gelas, sedikit terenyuh karena baru pertama kalinya ia melihat Jimin seperti ini.
Namun, laki-laki bermarga Park itu menggeleng. "Bukan masalah besar," katanya menyembunyikan.
Mia mengangguk paham, tidak ingin bertanya lebih lanjut karena menghargai keinginan Jimin. Ditariknya napas panjang, baru tersenyum dan berkata, "Sepertinya kau sudah lebih baik. Aku harus pergi sekarang. Miku dan Jungkook sudah menunggu."
"Apa hobby-mu memang meninggalkanku tanpa persetujuan?"
Netra sipit Mia mengerjap. Dia tidak paham maksud ucapan Jimin barusan. Tetapi, Jimin malah tersenyum dan bangkit duduk. "Apa kau baik-baik saja jika diduakan dengan pekerjaan oleh Jungkook?" tanyanya tanpa terduga.
"Kenapa menanyakan itu?" Mia sedikit tidak enak, apalagi menyadari dia sudah cukup lama meninggalkan Jungkook dan Miku. "Jim... aku harus pulang sekarang...," katanya lagi.
"Apakah aku harus putus dengan Nana?"
Retina Mia membesar. Pertanyaan bodoh apa pula ini?
-TBC-