Satu minggu sudah Nana tidak bisa dihubungi. Jimin stress, apalagi manajernya benar-benar ketat dengan kegiatan apa saja yang ia lakukan. Sudah berulang kali memohon, tetap tak ditanggapi. Pernah sekali dia berusaha kabur, tapi ketahuan saat ingin masuk ke mobil. Akibatnya, dia malah kehilangan semua akses untuk pergi. Mengesalkan sekali, bukan?
Siang ini, selesai latihan untuk penampilan di salah satu acara akhir tahun, lelaki Park itu memilih untuk tetap tinggal di ruangan. Bukannya tidak mau pulang, tapi masih ada beberapa gerakan yang ia kurang puas. Jadi, ia berpikir untuk menyempurnakan agar tidak ada kekecewaan di akhir.
"Oh, Jimin? Kau belum pulang?" Jin yang baru masuk untuk mengambil topinya yang tertinggal bertanya.
"Ah... sebentar lagi, Hyung."
Anggota tertua itu mengangguk. Ia mengambil topi putih kesayangannya yang berada di pojok ruang, lantas memakainya secara terbalik. Jangan tanya bagaimana tampannya dia sekarang dengan kening yang terpampang menyilaukan. Ugh, luar biasa.
"Ngomong-ngomong, kau tidak menyuruh pacarmu masuk?"
"Pacar?" Jimin mengerutkan kening.
"Mm, Nana ada di luar. Tadi dia berpapasan denganku."
Eh?
"Hyung serius?" Jimin berdiri dengan wajah kaget.
"Mm, kukira kau yang--"
Ucapan Jin terputus saat Jimin tiba-tiba langsung lari ke luar. Pria Kim itu menggeleng-gelengkan kepala, lantas menyusul ke luar dengan langkah santai.
Di saat yang sama, Jimin berlari menuju area luar gedung. Ada kebahagiaan dan juga ketakutan tersirat di hati, juga rindu yang tak terbendung. Semoga... semoga Jin tidak berbohong.
Lima ratus meter dari pintu keluar, Jimin tersenyum sumringah saat mendapati seorang wanita dengan gaun pink dan borkat hitam menyambut dirinya.
"NANA!"
"Oh, Jim... in?"
Pelukan Jimin erat sekali, seolah tak ada hari esok untuk mereka bertemu, atau seperti mereka sudah berpisah selama bertahun-tahun dan akhirnya bertemu kembali. Yah... mirip seperti adegan di drama-drama romantis. Bedanya, tidak ada backsound lagu yang sesuai kecuali ributnya para staff di ruangan masing-masing.
"Kau ke mana saja??" Jimin menangkup wajah si cantik. Sendu menatap bola mata indah yang jadi pujaannya.
"Itu... HP-ku rusak, jadi tidak bisa menghubungimu." Nana mengadu dengan cara menggemaskan, melelehkan hati lelaki yang merupakan kekasihnya.
"Jadi kau pakai apa untuk berkomunikasi?" Jimin masih senang menyentuh wajah halus sang hawa, merasakan bahwa gadis di depannya adalah nyata dan bukan ilusi karena kegilaannya yang dirundung rindu.
"Aku pinjam HP temanku. Dan karena aku takut informasi tentangmu tersebar, jadi aku tidak menghubungi dulu."
Si tampan Park mengembuskan napas. Ditariknya lagi Nana ke pelukan, dan dengan senang hati wanita itu balas memeluk.
"Ehem!"
Nana buru-buru melepas pelukan. Jin sudah berdiri di belakang mereka dengan wajah siap mengusili.
"Hyung...."
"Ah... badanku penat, harus cepat pulang. Aku duluan, ya." Jin berpura merenggangkan otot, menguap, lantas berlalu begitu saja melewati Jimin dan Nana.
Jimin menarik napas lega. Cepat-cepat ia menarik Nana ke ruang latihan, mengunci pintunya dan kembali ingin mengintrogasi si cantik. Sayangnya, sebelum ia melakukan itu, si pujaan hati sudah lebih dulu memeluk dengan erat.
"Jangan marah...." Nana memohon sambil mendongak dengan wajah memelas.
Jimin menjilat bibir. "Kau tidak tahu secemas apa aku saat kehilanganmu," katanya meluapkan kesal.
"Maaf...."
Untuk yang ke sekian kali, Jimin menarik napas panjang. Ia mendongak, menimbang tentang apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Jim... Nana minta maaf," mohon si cantik Kim.
"Kalau aku tidak mau?"
"Jimin tega?"
Ya mana mungkin. Bahkan, rasanya Jimin ingin langsung membawa gadis itu ke pelaminan sekarang. Ah... andaikan menikah semudah itu.
"Jimin... Jimin jangan marah." Nana terus membujuk, sedangkan pelukannya tak terlepas meski wajah kekasihnya terus-menerus datar. Ya, dia paham Jimin kesal, sangat kesal malah. Tetapi, dia kan sudah mengatakan alasannya.
"Jim...."
Sebelum Nana menuntaskan kalimatnya, lelaki berkemeja itu lebih dulu mengecup bibir si cantik, menyesapnya tak sabaran dan bahkan sedikit menggigit hingga desahan yang ia rindukan akhirnya terdengar.
Beruntung CCTV di ruangan itu sedang diperbaiki, jadi mereka bisa bebas melakukan apa saja di sana, termasuk Jimin yang mendorong Nana ke dinding dan terus memberi ciuman panas.
"Jim...." Nana memegang otot lengan kekasihnya saat lelaki itu mengendus lehernya dan mulai menyentuh lebih jauh.
Gadis Kim itu menggigit bibir. Lehernya yang disentuh terasa panas, dan tubuhnya menerima semua itu dengan baik.
"Kau milikku, jadi tetaplah di sisiku." Jimin tiba-tiba bergumam setelah selesai memberi tanda keunguan di leher yang terkasih. Pipi Nana dikecup sekali, tapi si cantik justru tertegun diam. Suara Jimin sangat dingin, membuat takut merayap perlahan di hati Nana.
Jimin menjauh, mengusap bibirnya yang basah, lalu tersenyum manis. "Temani aku latihan, ya," katanya riang, sangat berbeda dari beberapa detik yang lalu.
Mau tidak mau, Nana juga tersenyum dan mengangguk ceria, membuat Jimin melengkungkan senyum dan mengusap rambut hitam sang kekasih.
"I love you," katanya.
"Too."
Tidak ada pembicaraan lebih lanjut, sebab Jimin sudah bersiap ingin kembali berlatih. Bedanya, kali ini dengan Nana yang duduk dan memerhatikan. Ah... pasti jadi lebih semangat setelah ditemani sang kekasih.
Oke, dengan begini, maka satu masalah mereka sudah selesai. Tinggal menunggu kapan mereka memecahkan masalah terbesar; pernikahan.
--FIN--
Ya bayangin aja, yang begini yang nyambut pas lari, gimana Jimin bisa tahan gak meluk coba :')