Living together

348 91 14
                                    

Hampir satu bulan sudah Nana tinggal bersama Jimin, di apartemen mewah yang sebenarnya terlalu besar untuk mereka berdua. Dalam rentang waktu itu pula, tak terhitung sudah berapa banyak Nana mengutarakan bahwa ia ingin pindah--tapi tak satupun diiyakan oleh Jimin.

"Memangnya kau bisa tinggal sendiri dengan keadaan seperti ini, hm?"

"Nanti saja, oke? Setelah keadaanmu sudah lebih baik."

"Tidak, kau belum bisa pindah."

"Jika keberatan tinggal gratis, ya sudah, bayar saja biaya sewanya denganku."

Serta beragam alasan lain yang membuat Nana menyerah. Entah sengaja karena ingin membuat mereka terus dekat atau ada maksud lainnya Nana tidak tahu. Hanya saja, jujur, rasanya tidak etis mengingat mereka tidak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Apalagi sekarang dia menganggur, jadi setiap hari kerjaannya hanya duduk, membereskan rumah dan memasak, persis seperti seorang istri. Aneh memang, tapi inilah mereka.

Malam ini, jam tujuh atau jam pulang Jimin dari gedung agensi, Nana masih sibuk menghias cupcake yang ia buat. Jimin adalah temanya, jadi segalanya akan berhubungan dengan laki-laki yang akan berulang tahun tidak lama lagi itu. Chimmy, warna kuning, tulisan J I M I N dan beberapa hiasan lain ia tata dengan apik di dalam satu cupcake besar yang pasti lezat. Semoga Jimin suka.

Beberapa menit berlalu, suara pintu terbuka akhirnya terdengar, disusul dengan Jimin yang memanggil seperti biasa.

"Nana, aku bawa--"

"Surprise!"

Nana tersenyum lebar memamerkan cupcake yang sudah jadi, tepat ketika Jimin memasuki area dapur, membuat tawa renyah dari si tampan langsung terdengar.

"Untukku?" tanyanya meyakinkan dengan tatapan yang... ah, sudahlah.

"Mm, semoga Jimin suka." Nana berkata riang.

"Pasti suka." Tak disangka, Jimin menggigit cupcake tersebut hingga membuat Nana membulatkan mata tak percaya.

"YAK, PARK JIMIN!"

Tawa bahagia dari Jimin membuat Nana mengurungkan marah. Laki-laki itu semakin menarik dengan mata yang hampir menghilang tertarik lengkung lebar dari bibir. Indah sekali.

"Kuenya enak, manis, juga cantik, seperti yang membuat." Jimin mengerling sebelum berlalu melewati Nana menuju kulkas. Menyisakan si cantik Kim dengan pipi yang memerah malu.

"Ah, ya. Sudah makan malam?" Jimin tiba-tiba bertanya ketika baru membuka pintu kulkas.

"Eum... belum." Nana menjawab jujur. Akibat terlalu semangat membuat cupcake, dia jadi lupa mengisi perut.

Sebab jawaban Nana itulah Jimin jadi batal memasukkan bawaannya ke dalam kulkas dan malah berbalik menuju meja makan. Dengan gaya isyarat, dimintanya Nana untuk mendekat.

"Kita tukar makanan, oke?" Jimin menyodorkan bungkusan yang ia bawa dari tadi ke Nana yang baru duduk. "Cupcake-nya untukku."

Nana tak bereaksi banyak dan memilih untuk membuka makanan yang Jimin serahkan. Tetapi, matanya langsung berbinar ketika melihat apa isi kotak makanan; Dalgogi panggang dan daging sapi panggang. Makanan mewah yang sudah pasti lezat.

"Wuah... terima kasih!" katanya riang memandang Jimin yang bertopang dagu memandangi tingkahnya.

"Nana suka?" Jimin bertanya, sekaligus menyerahkan sendok dan garpu ke Nana yang langsung menerima. "Makanlah," katanya lembut.

"Jimin mau?"

Sebagai jawaban, laki-laki yang baru pulang dari New York itu menggeleng. "Cupcake-nya lebih menggoda," katanya memberi alasan.

Nana hanya ber-oke sekali, kemudian langsung merasai makanan yang diolah dari ikan dalgogi atau john dori. Jimin, yang masih bertopang dagu tertawa kecil melihat eskpresi senang dari sang hawa.

"Seenak itu, hm?" Di sela bertanya, ibu jarinya bergerak menghapus jejak kuah di bibir Nana. Tapi tanpa terduga, jari itu kemudian disesap olehnya, berhasil membuat Nana tersedak kaget. "Enak," senyumnya kemudian tanpa dosa.

Sayangnya sebelum Nana sempat protes, ponsel lipat keluaran terbaru Jimin lebih dulu berdering. Sejenak Jimin memandang nama siapa yang muncul, kemudian langsung menggeser ikon menjawab panggilan dan beranjak menjauh dari Nana yang berusaha bersikap biasa--padahal sangat ingin tahu siapa yang menghubungi. Kenapa harus sampai menjauh coba?

Sambil memakan dalgogi panggangnya sedikit demi sedikit, brown eyes Nana terus mengikuti gerak si tampan pemilik rumah. Tidak terdengar apa yang dibicarakan, tapi Nana bisa lihat wajah Jimin sangat teduh ketika menjawab obrolan dari lawan bicaranya. Beberapa kali pula laki-laki itu tersenyum, lembut dan penuh pengertian.

Apakah itu pacar Jimin yang baru? Atau mungkin bahkan Mia? Wanita yang juga sangat dekat dengan Jimin meski faktanya dia sudah bersuami. Sebab, ya, Nana beberapa kali melihat mereka sangat akrab dan itu bukan keakraban wajar antar 'teman'.

"Kenapa tidak dimakan, hm?"

Nana tersentak kaget karena Jimin tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Sial! Ternyata dia melamun sejak tadi.

"Minta sedikit, ya?" Tak mempedulikan pertanyaan awalnya belum dijawab, Jimin langsung mengambil sendok Nana dan menyuap makanan yang berasal dari ikan tersebut. Tanpa mengetahui bahwa Nana terus memandanginya lalu tersenyum tipis.

"Apakah dia cantik?" tanyanya sambil terus menatap Jimin. "Yang barusan menghubungimu," jelasnya agar Jimin paham.

Si tampan Park tak langsung menjawab. Dihelanya napas panjang, berlanjut melipat kedua tangan ke dada dan duduk menyandar ke kursi. "Kenapa tiba-tiba ingin tahu?" selidiknya setengah menggoda.

Semburat merah kembali muncul di pipi Nana, teringat bahwa dia sudah 'dicampakkan' oleh Jimin.

"Itu Mia." Jimin menunjukkan panggilan tadi, terpampang jelas namanya memang Mia di sana. "Dia bertanya apakah Jungkook lembur karena tidak bisa dihubungi."

Nana hanya ber-oh panjang dan kembali menyendok makanannya lambat-lambat. "Kenapa tidak tanya dengan member yang lain," gumamnya pelan.

"Yoongi Hyung pasti juga tidak bisa dihubungi. Dan dia tidak dekat dengan member lain. Jadi satu-satunya pilihan hanya aku."

Si cantik yang rambutnya sudah panjang sepunggung itu tak menanggapi. Mood-nya mendadak buruk. Cemburu? Ah... harusnya dia tak berhak merasakan itu lagi.

"Nana."

"Hm?"

"Mia hanya teman, tidak lebih. Jangan berprasangka yang tidak-tidak, oke?" Entah tidak peka atau justru sengaja, Jimin mengatakan kalimat tadi sambil mengusap-usap pelan rambut sang hawa. Ayolah, Jim, kenapa kau mengatakan kalimat itu ke gadis yang bukan siapa-siapamu? Ingin membuatnya berharap lebih?

Nana menaruh sendok dan tersenyum simpul. "Aku sudah selesai makan," katanya tegas.

"Mm. Taruh saja di sana, nanti aku yang mencuci."

"Terima kasih."

Tanpa kalimat lanjutan, si cantik Kim menaruh piringnya ke tempat cucian dan bergegas menuju kamar. Menyisakan Jimin yang memandangi cupcake yang belum ia habiskan.

Sesampainya di tempat tidur, Nana menarik napas dan memeluk gulingnya lebih erat. Gara-gara obrolan tadi, niatnya ingin pindah jadi semakin kuat. Besok, dia akan mulai mencari tempat tinggal baru. Semoga saja segera ketemu.

--FIN--

[Jimin ❣ Nana]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang