"Haruskah aku putus dengan Nana?"
Mia hampir menyiram Jimin agar lelaki itu sadar dengan kalimat yang diucap. Beruntung, bel depan berbunyi yang menyebabkan Mia bergegas menuju ke pintu dan membukanya karena tahu yang datang adalah Jungkook dan Miku.
"Dia mabuk!" Mia mengadu sambil menunjuk Jimin yang terbaring di sofa.
Jungkook tidak segera menjawab. Ia malah menyerahkan Miku yang lelap ke Mia, memintanya untuk dipindah ke kamar tamu. Baru setelah Mia pergi, dia menarik napas dalam-dalam melihat hyung-nya yang menyedihkan.
"Hyung." Ditepuk-tepuknya pipi Jimin yang memerah. "Hyung, bangun!"
Mata Jimin membuka sedikit, lantas dengan susah payah si tampan bangkit duduk. "O? Jungkook-ah? Kapan kau sampai?" sapanya berbasa-basi dengan senyum mengembang polos.
"Hyung terlalu mabuk. Ayo kubantu ke kamar." Jungkook berniat membopong Jimin, tapi laki-laki itu lebih dulu menolak dan malah menggeleng.
"Hyung...."
"Ada yang ingin kutanyakan denganmu, Kook." Sambil sesekali cegukan, Jimin berkata dengan nada yang lebih serius.
"Tapi, Hyung--"
"Bagaimana cara agar bisa bertahan dengan semua kesibukan pasangan?"
Jungkook menatap sinis. "Ini pasti tentang Nana, 'kan?" omelnya.
"Mm." Jimin tak membantah. Tetapi, sorot matanya tiba-tiba sendu. "Aku seperti bertahan sendirian," keluhnya pelan.
Untuk kali ini, Jungkook terdiam sejenak, tapi kemudian mengembuskan napas dan duduk di sofa yang tak jauh jaraknya dari Jimin. "Urusan semacam itu harus Hyung bicarakan empat mata dengan Nana. Hyung tidak bisa menilai hanya dari kacamata Hyung sendiri. Hyung harus tahu dari sisi Nana juga," tuturnya berhati-hati.
"Dia sibuk. Tidak punya waktu untukku."
"Kalau begitu buat dia punya waktu untuk Hyung. Bayar manajer restoran agar meliburkan Nana, atau jika perlu sewa saja restorannya untuk kalian berdua bicara."
Jimin menatap lurus saat mendengar ide gila dari Jungkook. Menyewa satu restoran? Waw!
"Mengeluarkan uang untuk wanita yang dicinta bukan sebuah kerugian, Hyung. Toh, yang nanti bahagia melihat senyumannya juga kita, bukan orang lain."
Laki-laki kelahiran tahun 1995 itu tertawa kecil mendengar antusiasme Jungkook. "Kau pasti sering mengalaminya dengan Mia, 'kan?" tandasnya tepat.
Jungkook tertawa kecil, lantas menjawab, "Mia yang lebih sering memahamiku. Dia yang selalu mengajakku bicara lebih dulu. Tetapi, jika dia sudah terlalu lelah, dia hanya mendiamkanku, alih-alih membicarakannya."
Tatapan Jimin tertuju lurus ke Jungkook yang tampak tersipu ketika membicarakan Mia. Dari sana, ia mendapatkan kekaguman tentang bagaimana Jungkook sangat memuja istrinya. Sekarang, Jimin tak bisa mengira siapa yang lebih beruntung; Mia yang memiliki Jungkook, atau Jungkook yang memiliki Mia.
"Bagaimana kalian bisa sangat seberuntung ini...,"--Jimin bergumam--"padahal sama-sama pernah berselingkuh, tapi akhirnya ke pelaminan juga dan langgeng hingga sekarang."
"Itulah yang dinamakan takdir, Hyung."
Anggukan-anggukan kecil dijadikan jawaban oleh Jimin. Lantas, laki-laki itu menarik napas dan bicara, "Semoga aku dan Nana bisa seperti kalian."
Jungkook hanya tersenyum, tapi diam-diam mendoakan dalam hati agar keinginan hyung-nya terkabul.
Ya, semoga saja Jimin dan Nana langgeng selalu.
-♪
Dua hari kemudian.
Pagi-pagi sekali Nana sudah sibuk menyiapkan restoran yang dipesan oleh seseorang untuk keperluan pribadi. Bunga-bunga yang mulai layu diganti dengan yang baru, menghasilkan harum segar alami yang menenangkan. Stok dan yang lain-lain di bagian dapur diperiksa dengan hati-hati, teliti, tanpa meninggalkan cela sedikitpun agar tidak ada kekacauan yang muncul.
Nana profesional, selalu. Walau gara-gara itu harus mengorbankan beberapa hal; waktu bersama Jimin dan keluarga contohnya.
Jam delapan, sebuah van berhenti. Semula, Nana heran karena menyangka yang datang adalah rombongan, tapi ketika melihat siapa yang keluar dari van, ia langsung membulatkan mata tidak percaya.
Si tampan dengan kacamata hitam.
Nana buru-buru menutup pintu restoran ketika Jimin akhirnya masuk. Sedangkan, laki-laki tampan itu tersenyum seraya melepas kacamata.
"Lama tidak bertemu, Nana-ssi," ucapnya ramah.
Mata Nana menyipit. "Jangan bilang...."
Jimin tertawa kecil, menaruh dompetnya ke meja dan kembali memandang Nana sambil tersenyum manis. "Mm, aku yang memesan restoran."
Heol... gila...!
"CCTV sudah dimatikan, 'kan?" Jimin menarik salah satu kursi, lantas dengan sopan ia meminta Nana untuk duduk di sana. "Ada yang harus kubicarakan denganmu," ucapnya sembari duduk di kursi seberang Nana.
Si cantik Kim diam. Dia ingin protes, tapi urung ketika melihat tatapan lurus Jimin yang terbilang sendu. "Apa ada masalah?" ucapnya khawatir.
Jimin tersenyum. "Mm, ada."
"Apa?"
"Hubungan kita."
Nana menelan ludah. Mulai cemas dengan kalimat berikutnya yang akan Jimin ucapnya.
"Na--"
"Jim--"
Keduanya bicara bersamaan. Tapi Jimin mengalah, mempersilahkan Nana untuk bicara lebih dulu.
"A-aku akan siapkan makanan dan minuman dulu." Tanpa menunggu jawaban Jimin, si cantik Kim langsung bergegas pergi menuju bagian belakang restoran, meninggalkan kekasihnya yang hanya mampu menghela napas.
"Melihatmu begitu, aku jadi semakin ragu untuk melanjutkan hubungan kita, Na...."
--TBC--