Adiós, Mi Amor

583 107 31
                                    

Situasi begitu canggung saat Nana duduk menghadap Jimin yang terlihat tenang. Laki-laki itu menyesap kopinya perlahan, merasakan pahit dan manis yang diekstrak menjadi satu.

"Jim...." Pemilik wajah khas Asia itu bersuara, jemu dengan kesunyian yang menghujam ke relung jiwa. Di setiap detiknya dia tersiksa, tertusuk jarum yang tak nyata. "Ayo bicara," pintanya pelan sekaligus berusaha mengusir seluruh kemungkinan buruk yang bermunculan di pikiran.

"Aa...." Jimin menegakkan punggung. "Bagaimana hari-harimu? Kau makan dan tidur dengan baik, 'kan?" tanyanya lembut, penuh perhatian seperti biasa.

"Mm. Jimin sendiri?"

Laki-laki itu menghela napas. "Aku berusaha baik-baik saja," lanjutnya dengan senyum mengembang.

"Jim...."

"Aku terus berpikir; Nana sedang apa? Apakah dia merindukanku? Apakah dia sudah makan? Haruskah aku menemuinya? Ah... tidak, tidak! Dia pasti kelelahan. Aku tidak boleh mengganggunya." Ia berceloteh, tapi kemudian tersenyum menatap Nana. "Tetapi melihatmu baik-baik saja seperti ini, aku lega. Sangat lega."

Tidak ada dusta di kalimat Jimin. Sorot matanya jujur, penuh kasih dan perhatian. Tetapi, hal itu justru membuat Nana terluka lebih dalam. Ya, gadis itu tahu kesalahannya.

"Nana...." Jimin perlahan menyentuh jemari sang hawa. "Maaf aku egois, tapi aku benar-benar tidak bisa menjalin hubungan yang semu. Aku tidak bisa berada di hubungan di mana aku jadi tidak terlihat." Kalimatnya lembut, hati-hati, tapi penuh pertimbangan. Semalaman penuh ia memikirkannya, membuat kurang tidur dan hampir terlambat bangun.

"Jimin...." Nana mulai sulit mengendalikan diri. Matanya berkabut, berkaca-kaca menatap sang kekasih. "Nana minta maaf....," bisiknya tercekat.

"Stt... Nana tidak salah...." Jimin gemetar mengusap air mata kekasihnya yang jatuh. "Aku yang bersalah karena terlalu egois. Aku yang salah tidak bisa bertahan."

Nana menggeleng, tangisnya tumpah.

"Stt... bidadari tidak boleh menangis." Jimin tertawa kecil menangkup wajah kecil kekasihnya. "I'll still love you, My Queen," ucapnya sambil tersenyum getir.

"Tidak...." Nana menggeleng kuat. "Aku tidak mau kita putus...," isaknya perih.

"Hey, dengarkan aku, Sayang!" Jimin menghadapkan wajah cantik sang kasih ke arahnya. "Aku tidak mau jadi batu sandungan karirmu, oke? Aku tahu impianmu, dan aku tidak mau merusaknya karena keegoisanku yang selalu ingin di nomor satukan. Aku tidak mau, Na...."

Nana masih menggeleng, menolak keputusan sepihak laki-lakinya.

"Nana... aku berusaha melakukan yang terbaik selama tiga bulan terakhir. Aku berusaha menekan egoku dan memahami kesibukanmu. Tapi itu sulit, Sayang. Tidak ada kabar, tidak bisa bertemu walau sebentar, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menahannya sendirian, Sayang." Jimin tercekat di akhir kalimat, akibat emosi yang membludak.

"Jim... Nana bisa perbaiki itu semua...." Nana memohon, masih berharap Jiminnya berubah pikiran.

"Nana... Sayang...,"--Jimin tersenyum pahit--"akan lebih baik jika kita istirahat sejenak. Kau bisa fokus dengan pekerjaan dan mimpimu tanpa perlu memikirkanku, atau merasa bersalah denganku."

"Jimin...."

"Aku tahu ini sangat egois karena memutuskan sepihak,"--dihelanya napas panjang--"Tapi maaf, kita berhenti sampai di sini, Na."

Gadis cantik itu menggeleng kuat, tangisannya mengeras. Rasanya mustahil dua tahun hubungannya menjadi sia-sia dalam sekejap.

"Maaf membuatmu sakit seperti ini. Maaf sudah jadi pria yang buruk. Kau bebas mengutuk, menyumpahi dan membenciku." Jimin terdiam sejenak, lalu lanjut bicara, "tapi hati ini akan selalu jadi milikmu."

Nana tetap terisak. Otaknya seketika berhenti berpikir. Dunianya menggelap. Cahayanya menghilang, terganti mendung yang entah kapan akan hilang.

"Walau kita tidak bersama lagi, aku akan tetap mendoakan yang terbaik untukmu, Nana Kim. Aku akan jadi fans nomor satumu, dan aku akan selalu mendukungmu hingga semakin sukses." Jimin berusaha tegar ketika mengusap rambut lurus sang kasih. "Jangan sampai terlalu lelah bekerja. Minumlah vitamin dengan rutin, istirahat dan makan dengan baik. Jangan sakit, tetaplah kuat dan temukan hal indah lainnya yang mampu membuatmu bahagia. Kenangan kita, biarlah aku yang menyimpan. Dan maaf sudah banyak mengecewakanmu bahkan hingga detik ini." Jimin menutup kalimatnya dengan suara yang bergetar. Ini hal yang berat, tapi harus ia lakukan demi Nana, demi kesuksesan Nana di masa depan. Sebab dia sadar, Nana akan terbebani jika dia terus ada di sana.

Setelah menyeka sudut mata yang basah, Jimin mendongak. Dan senyum getirnya muncul ketika memandang Nana yang tertunduk dengan tangan menutupi wajah. Isak gadis itu telah menghilang, tertinggal sesegukan yang menandakan hancurnya perasaan.

"Adiós, Mi Amor." Jimin, dengan bergetar mengucap kalimat perpisahan. Dan untuk terakhir kalinya, dia mengusap rambut Nana, lantas dengan berat hati meninggalkan gadis yang ia puja sejak kali pertama bertemu.

Jimin menatap kosong sambil bersandar ke kaca mobil. Matanya sembab, terpikir hancurnya Nana sendirian di sana. Tetapi, dia harus melakukan ini walau beresiko Nana akan membencinya seumur hidup.

"I'll still love you, Na." Jimin mendesah pelan saat melihat kenangannya bersama Nana muncul di mana-mana; gedung yang ia lewati, bus yang berpapasan, papan iklan yang terpasang, hingga awan-awan di atas sana. Menambah rasa terpuruk laki-laki kelahiran tahun 1995 itu karena melepas hal paling ia cinta.

Pelan, ia mengambil kotak cincin yang selalu dibawa ke mana-mana. Dibukanya kotak tersebut, lantas memandangi cincin berlian yang ia siapkan sejak jauh-jauh hari. Tahun ini adalah waktunya ia melamar Nana, memantapkan hubungan mereka ke jenjang yang sangat serius. Tetapi, siapa sangka akhirnya justru sangat berbeda? Dan yang lebih menyakitkan, keputusan itu datang darinya.

"I'm sorry.... Nana Kim." Dia akhirnya menyerah, tertunduk menyembunyikan tangisannya yang tak tertahan. Hatinya sakit, hancur, tapi harus ditamengi agar tetap kuat. Menyesal sekarang pun percuma, keputusan sudah diambil.

Manajer di kursi kemudi hanya melirik artisnya melalui kaca. Dia tidak ingin ikut campur, hanya berharap ada hal bahagia yang akan menghampiri dua orang yang saling menyayangi tersebut. Terdengar mustahil, tapi masa depan tidak ada yang tahu kecuali Tuhan.

Jimin tersedu-sedan. Memukul dadanya yang sesak, dan akhirnya terdiam dengan sisa-sisa tangis. Namun, di tengah sembabnya mata dan hancurnya hati, dia tetap berharap; semoga, semoga Nana bahagia. Dengan atau tanpa dirinya. Dan cintanya kepada Nana, akan selalu ia simpan rapi di ruang hati yang tersendiri, sebagai kisah cinta terbaik yang ia miliki.

--FIN--

**Cincinnya kira-kira begini lah**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**Cincinnya kira-kira begini lah**

[Jimin ❣ Nana]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang