Jimin menimbang-nimbang antara membalas pesan Anran atau mengabaikan begitu saja--mengingat bahwa dirinya milik Nana dan itu mutlak--di saat ia menatap sebagian kecil kota Seoul dari jendela apartemen. Tetapi sungguh, hati kecilnya terus menggelitik agar ia membalas. Bahkan saat latihan tadi dia jadi tidak fokus karena terus memikirkan hal ini. Sangat merepotkan, bukan?
Namun, setelah berdecak, jemarinya justru menekan nomor Nana dan segera menempelkan benda persegi tersebut ke telinga. Iya, dia harus menghapus semua tentang Anran dan memfokuskan diri pada Nana.
"Yeoboseo," sapanya ketika panggilan tersambung.
"Mm, yeoboseo."
Suara manis di ujung telepon tanpa sadar membuat hati Jimin terhangatkan. Lelaki itu tersenyum, memutar tubuh dan mendekat ke meja untuk duduk di sana. "I miss you," ucapnya tanpa berpikir panjang.
"Mm, aku juga."
Sangat datar dan membuat Jimin langsung mengernyit heran. Tidak biasanya Nana seperti ini. Heol?! Apa dia berbuat kesalahan? Atau jangan-jangan Nana marah karena dia jarang menghubungi selama satu minggu belakangan ini?
"Ada teman-temanku di sini," jelas Nana bertepatan dengan Jimin yang membuka mulut ingin bertanya. "Mau dimatikan dulu?" lanjutnya kemudian.
"Mm... tidak bisa izin sebentar? Jimin rindu Nana." Lelaki tampan itu memohon, sangat sulit untuk ditolak keinginannya.
Beberapa saat diam, Nana pun akhirnya mengiyakan. Gadis itu terdengar meminta izin keluar kamar, dan tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup.
"Nana sudah di luar."
Jimin menyunggingkan senyum senang mendengar pemberitahuan dari Nana. Dan ia juga yakin, Nana pasti merasakan hal yang sama sepertinya. Ck, dasar ge-er.
"Bagaimana di sana? Nana baik-baik saja?" Jimin membuka pembicaraan baru. Basa-basi, tapi bermakna.
"Nana baik-baik saja. Jimin bagaimana?"
"Eum... keseluruhan baik syukurnya. Kecuali kesepian karena tidak ada bidadari yang menemani di sini."
Gadis cantik itu tertawa kecil. Jimin tidak pernah berubah jika mereka sedang berjauhan, selalu memberi kata-kata manis yang membuai dan tentu saja, menambah kadar rindu yang tersimpan di hati. "Nana juga kesepian di sini, tapi syukurnya ada Anran dan Lulu yang menemani," katanya tanpa mengetahui jantung lelakinya berdebar lebih cepat karena satu nama ia sebutkan.
Namun, Jimin benar-benar pandai menyembunyikan perasaan. Bahkan ia buru-buru tersenyum dan menjawab, "syukurlah jika Nana mendapat teman baik di sana."
"Mm, mereka memang sangat baik!"
Jimin menarik napas. Membasahi bibirnya yang kering dan mengetuk-ngetuk meja dengan satu jari. "Mau video call?" tawarnya. "I really Miss you, Park Nana."
Semburat merah muncul di kedua belah pipi Nana. Namun, ketika ia hendak menjawab, sebuah sapaan laki-laki lebih dulu terdengar dan suara Nana jadi agak menjauh. Tapi beberapa kali Jimin bisa menangkap Nana menyebut kata 'Huang Ssaem'. Jadi bisa dipastikan yang sedang bersama Nana adalah mentor yang selama ini memang terlihat begitu mendukung si cantik Kim.
Cemburu? Sedikit.
Tapi yang lebih menyebalkan adalah ketika panggilan itu tiba-tiba terputus. Ugh! Jimin bingung harus bersikap bagaimana. Otaknya mendadak kusut. Rindunya masih banyak, dan pembicaraan singkat tadi tak mampu mengurangi. Dia perlu lebih banyak waktu bersama Nana. Ck! Kenapa diganggu, sih?!
Kalau sudah begini, lebih baik dia tidur agar bisa melupakan semua kekesalan.
•-•
Jam enam pagi.
Jimin masih mengantuk ketika ponselnya berdering. Dengan mata berat, ia meraih benda berukuran sekitar lima inci tersebut dan menyipitkan kelopak untuk membaca nama siapa yang tertera di layar.
Panggilan video dari Nana.
Tak perlu waktu lama, ia langsung menggeser ikon menjawab panggilan dan membalikkan badannya agar bisa menyandarkan ponsel ke dashboard ranjang. Masa bodoh dengan muka bantal, yang penting tetap tampan.
"Jimin! Morning!" Nana tersenyum lebar menyambut wajah berantakan sang pacar. "Tebak Nana ada di mana?" celotehnya semangat sambil memperlihatkan area sekitar yang tampak asri dengan pepohonan menghijau yang pasti menyegarkan.
"Yang pasti bukan di ranjang Jimin." Lelaki itu menjawab asal, terlalu malas berpikir sepagi ini. Lagipula itu pasti masih di sekitar asrama yang memang asri.
"Ei... Jimin marah ya gara-gara tadi malam?" Nana berhenti berputar-putar memperhatikan sekeliling, dan sekarang hanya berfokus pada Jimin yang merengut. "Maaf, tadi malam ada kunjungan mendadak dari para mentor untuk konten acara," jelasnya meminta pengertian.
Jimin mendengus dan menenggelamkan wajahnya ke bantal, mencoba menghilangkan kekesalannya tadi malam yang terbawa mimpi.
"Jimin... jangan marah...," bujuk Nana ketika kekasih tercintanya tak kunjung mengangkat kepala. "Nana minta maaf. Lain kali tidak akan begitu lagi," ucapnya sungguh-sungguh.
Kali ini Jimin mau mengangkat kepala meski wajah merajuknya masih terlihat. Tapi dia ikut tersenyum ketika melihat Nana melakukan hal yang sama. Ya... siapa juga yang tahan marah lama-lama dengan gadis secantik Nana. Tidak ada.
"Nana!!"
Jimin mengerjap kaget ketika Anran tiba-tiba muncul dan langsung memeluk Nana dari belakang. Pun Nana, dia sama kagetnya karena posisi yang tengah video call dengan sang kekasih yang merupakan artis ternama.
"Video call dengan pacar, huh? Ayo kenalkan pada... ku."
Kantuk Jimin hilang, berganti debar tak tenang ketika Anran secara langsung menatap layar ponsel Nana yang menampilkan wajahnya. Dan bisa ia lihat secara jelas roman gadis keturunan Cina itu berubah.
"Jimin-ssi?" panggilnya pelan dengan tatapan aneh, antara sedih dan juga terluka.
Jimin menelan ludah, tapi kemudian menguatkan diri dan tersenyum ramah.
"Eum... hai. Aku... kekasih Nana. Senang bertemu denganmu, dan terima kasih selalu menjaga Nana di sana."
—TBC—
•
Manis banget ya lord 🥺