WARNING!
NC AREA!!♥
Nana baru selesai membereskan makan malam saat bel apartemennya berbunyi. Sambil merapikan rambut yang panjang, gadis kelahiran tahun 1997 itu menuju luar. Di tengah jalan, bel kembali berbunyi, membuatnya berdecak sebab ketidaksabaran sang tamu.
"Si—"
"Lama tidak bertemu, Na."
Ada kecanggungan yang meliputi dua orang tersebut. Jimin tersenyum kaku, sedang Nana terpaku diam. Setelah hampir dua minggu tak bertemu, Jimin akhirnya datang ke tempat Nana.
"Boleh aku masuk?" izin Jimin sembari melirik ke dalam ruangan.
"Aa... ayo masuk," ajak Nana cepat.
Pintu ditutup rapat ketika Jimin sudah masuk ke dalam. Lelaki itu memutar pandangan dan tersenyum ketika baru duduk di sofa yang empuk. Sudah lama dia tidak berkunjung ke sini.
"Jim...." Nana memanggil dengan ragu, tapi kekasihnya itu langsung memandang penuh perhatian.
"Ya, kenapa?" tanya Jimin.
"Eum... kenapa tiba-tiba ke sini?"
"Ingin menemuimu tentu saja."
Nana menggigit bibir. Ada banyak yang ingin ia sampaikan pasca renggangnya hubungan mereka beberapa waktu ini. Tetapi, Jimin nampaknya tidak ada niat membahas hal tersebut sama sekali.
"Kau sudah baikan?" Jimin memecah hening, membuat Nana langsung mengarahkan pandangan ke lelaki yang jadi kekasihnya tersebut.
"O, aku baik-baik saja." Nana menjawab sembari menganggukkan kepala.
"Mia sudah menceritakan semuanya, termasuk alasanmu menjauh beberapa waktu ini."
Mata bulat Nana mengerjap mendengar pengakuan Jimin. Tetapi, belum sempat ia bicara, Jimin lebih dulu bersuara. "Maaf karena aku tidak berada di sampingmu," sesalnya.
"Aa... itu—"
"Aku kekasih yang buruk. Kau pasti menyesal karena berhubungan denganku."
Nana bingung, sedang Jimin terus menyalahkan diri sendiri. Sebenarnya tidak hanya kali ini saja, tapi juga beberapa hari belakangan. Sejak Mia mengatakan Nana keluar dari pekerjaannya dan sekarang menganggur, lelaki itu sudah tidak tenang dan terus mengutuk dirinya karena tidak bisa berada di sisi sang kekasih.
"Jimin...."
"Aku benar-benar minta maaf, Na." Jimin memohon dengan wajah muram.
"Haha, sudahlah, Jim. Aku baik-baik saja dengan semua ini. Lagipula ini bukan salahmu, jadi berhentilah meminta maaf." Nana mendekat ke Jimin, lalu menepuk bahu lelaki tampan tersebut.
Jimin memandang sendu. Dipegangnya lengan Nana dengan erat, sedang matanya terus tertuju pada wanita yang sangat ia kasihi tersebut. "Soal pekerjaan, kau tidak perlu khawatir. Ada banyak kenalanku yang akan membantumu," ucapnya menenangkan.
"Jimin...."
"Aku melakukannya karena aku menyayangimu, Kim Nana."
"Aku juga menyayangimu." Nana berkata pelan.
Jimin tersenyum. "Semangatlah, Sayangku," ucapnya sambil mengusap rambut Nana.
"Mm, kau juga."
Nana menarik napas. Tangan Jimin yang mengusap rambutnya diraih, kemudian dipindahkan ke pipinya yang hangat. "Aku merindukan tangan ini," ucapnya dengan senyum tersampir di bibir.
"Na...."
"Sulit rasanya jauh darimu."
Jimin tak bersuara. Dia hanya diam menatap Nana yang entah kenapa jadi semakin cantik sejak terakhir kali mereka bertemu.
"Jim," panggil Nana tiba-tiba.
"Eum, ya?" Cepat Jimin menjawab untuk menutupi kekagetannya.
"Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku."
Jimin mengerjap. Pasalnya, Nana tiba-tiba mengecup bibirnya, berlanjut ke mata, dahi, dan terakhir pipi.
"Aku mencintaimu, Park Jimin."
Tuhan... Nana sangat cantik ketika mengatakan hal tersebut, membuat Jimin seperti tak memikirkan apa pun ketika meraih tengkuk wanita tersebut dan meraup bibir ranum yang lama tak ia sentuh. Nana awalnya kaget, tapi kemudian tersenyum dan mulai mengimbangi permainan kekasihnya yang bertambah liar.
Nana rebah, sedang Jimin memindahkan ciuman itu ke leher. Tak menghiraukan desah sang hawa, Jimin malah sibuk menyesap dan membuat tanda di kulit putih tersebut. Ops! Jangan lupa satu tangannya yang menelusup ke balik pakaian dan mengusap punggung Nana.
"Jim...."
Yang dipanggil menaikkan kain baju hingga tubuh sang dara terekspos indah. Tak sabaran, Jimin memijat benda kenyal tersebut. Tetapi tak lama, ia kemudian menggantinya dengan lidah. Jangan pikirkan Nana, sebab ia hanya mampu memegangi rambut Jimin dan sedikit membuatnya berantakan.
Merasa puas, ia pun akhirnya berpindah ke bagian bawah. Namun sebelum memulai, dia lebih dulu memandang Nana dan berkata, "Na, boleh kulakukan, ya?" izinnya.
Nana awalnya meneguk ludah, agak ragu, tapi kemudian mengangguk setuju. Segera, Jimin melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
—♥—
Nana menjerit saat Jimin tak berhenti menghentaknya dengan keras. Sedangkan lelaki itu hanya menggeram dan tajam memandang Nana yang kesusahan. Tangan Nana yang semula memegangi lengannya, sekarang dipegang dan ditekan ke sofa, membuat gerak wanitanya semakin terbatas dan hanya mampu menerima apa yang ia beri.
"Jim...!!" Nana menarik napas susah payah ketika pelepasannya yang ke sekian kali.
"Eumhh!!"
Jimin menghentikan sejenak kegiatan panasnya. Nana diubah posisi jadi seperti merangkak, dan ketika ia belum siap, lelaki itu sudah lebih dulu memasukkan miliknya ke Nana dalam sekali hentak.
"Shh!!" Jimin menggigit bibir, mendongak, tapi terus bergerak memberi kenikmatan pada sang wanita di hadapannya.
Hingga ia merasa akan sampai, Nana dipeluk dari belakang dan gerakan dipercepat. Napasnya memburu, pun erangannya yang justru menambah panas.
"Ah... Nana!!"
Dengan beberapa kali hentakan terakhir, Jimin pun selesai. Nana terengah. Tubuhnya lemas, penat dan juga gerah. Sedangkan di bawah sana, ia merasa hangat. Yah... sepertinya Jimin tidak mau repot, jadi dia mengeluarkan di dalam.
"Jim."
"Mm?"
"Terima kasih."
Tidak ada jawaban. Jimin hanya mengecup rambut Nana, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke samping wanita tersebut. Meski terasa sempit karena ukuran sofa yang kecil tidak muat menampung mereka berdua, Jimin tidak masalah.
"Terima kasih juga untukmu," jawabnya dengan senyum simpul.
Malam yang panas sudah selesai. Waktunya untuk mereka mengistirahatkan diri.
Jadi, selamat malam.
—FIN—