Jimin setengah berlari melewati lorong-lorong rumah persemayaman. Jantungnya berdebar kencang, akibat rasa khawatir yang terus menyerang sejak pesan singkat tentang Nana ia terima.
Tepat di salah satu ruangan, langkahnya berhenti seketika, begitu pula dengan manager yang terengah karena tak biasa berlari. Ada banyak orang, tapi perhatiannya langsung mengarah pada gadis yang terduduk lesu bersandarkan dinding. Mata yang senantiasa cantik sekarang sendu, bengkak karena kebanyakan menangis.
Tak menunggu lama, laki-laki bermarga Park itu langsung masuk dan menghampiri gadis yang terus hadir di mimpinya hampir di setiap malam. Pelan, ia berlutut mensejajarkan diri dengan sang hawa.
"Nana...," panggilnya kelu.
Si pemilik nama mengerjap, lemah. "Jim...."
Sedikit ragu, Jimin menggapai Nana ke pelukan, membiarkan gadis berambut pendek itu kembali menangis untuk kesekian kalinya karena ditinggalkan ibu, orang terdekat sekaligus tersayangnya.
Jimin tak bersuara, hanya mengeratkan pelukan dan sesekali mencium rambut yang lurus. Tidak dipedulikannya baju yang basah, atau pandangan orang-orang di ruangan seberang. Baginya yang penting untuk saat ini adalah agar Nana merasa sedikit lebih baik dan tak sendirian. Itu saja.
"Jimin di sini untuk Nana."
--••
Seharian penuh Jimin menemani Nana, berada di samping gadis yang ia sayang meski hanya sekedar untuk menggenggam tangannya saat di pemakaman. Panggilan dari agensi diabaikan, juga dari member lain. Alhasil manager lah yang jadi sasaran omelan atasan. Beruntung akhirnya Jimin diberi cuti 24 jam, dengan syarat besok harus sudah kembali ke kantor untuk latihan dan mengerjakan semua yang tertunda.
"Hyung-nim, pulanglah duluan. Aku akan menemani Nana."
"Tapi--"
"Pulanglah, Jim. Nana baik-baik saja."
Jimin memandang genggamannya yang dilepas Nana perlahan. Pemakaman telah usai, dan yang mengantar sudah satu-persatu pulang menyisakan mereka bertiga. Lantas, pandangannya kembali tertuju ke manager yang sudah memelas sekali menginginkan Jimin untuk pulang bersama. Tetapi, laki-laki Park itu malah menggeleng tegas.
"Aku ingin bersama Nana. Setidaknya untuk kali ini saja."
Ah... sudahlah.
"Jimin pulang saja...." Nana ikut mencoba membujuk, tapi laki-laki di sebelahnya justru menghela napas.
"Oke, aku pulang. Tapi Nana harus ikut."
"Jim...."
Dengan pelan, Jimin menangkup wajah sang dara. Ia tersenyum, lembut, menenangkan. "Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan Nana sendirian, hm? Ayolah... setidaknya untuk beberapa hari ke depan sampai keadaan Nana membaik. Oke?"
"Nana baik-baik saja, Jim!"
"Tidak ada yang baik-baik saja jika Nana terus menangis seperti ini." Jimin mengusap sudut mata Nana, lantas menunjukkan air mata yang ia seka. "Ikut dengan Jimin, ya?"
Untuk beberapa detik Nana diam mengambil keputusan. Tetapi kemudian mengangguk pasrah. Pikirnya, lebih baik ada seseorang yang menemani daripada dia semakin terpuruk dalam kesendirian. Sudah cukup tahun ini dia kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.
Sedangkan Jimin, ketika melihat anggukan Nana, dia pun tersenyum dan mengusap rambut gadis cantik tersebut. Dalam hati, dia bersyukur karena Nana akhirnya mau ikut bersamanya. Dengan begini, setidaknya dia akan lebih mudah menjaga Nana.
"Ayo."
--••
Setelah mengambil beberapa pakaian dari rumah Nana, mereka pun menuju apartemen Jimin. Tidak banyak yang mengetahui bahwa dia tinggal di sana, jadi setidaknya untuk sekarang cukup aman untuk membawa Nana tinggal bersama.
"Nana mandi dulu, oke? Jimin saja yang bereskan." Jimin menyerahkan handuk ke gadisnya yang masih kebanyakan diam saat mereka sudah ditinggal berdua. Manager memang pulang, sudah percaya dan tidak heran dengan kelakuan dua sejoli ini.
Tanpa bicara, Nana menuruti perintah mantan tersayang. Ditinggalnya tas yang memuat baju, dan dengan kaki telanjang melangkah ke kamar mandi yang tempatnya sangat dihapal meski ia sudah berbulan-bulan tidak datang pasca putusnya mereka. Jimin juga tidak banyak bicara, hanya langsung membereskan bawaan Nana dan menyusunnya rapi di kamar tamu.
Selesai mengurus milik Nana, Jimin berinisiatif untuk membuat makanan ringan agar perut kesayangannya tak begitu kosong. Oatmeal dan segelas susu hangat sepertinya cukup untuk mengganjal selagi ia memesan makanan dari luar.
"Jimin...."
Lelaki yang dipanggil langsung menoleh, menatap gadis berkaus putih kebesaran dengan rambut basah. Bergegas ia mendekat, lalu mengambil alih handuk dan mengusapnya lembut ke rambut sang hawa.
"Lebih segar, hm?" tanya Jimin menatap lembut wanitanya yang kuyu.
"Mm."
Jimin berhenti, lalu dengan perlahan menggenggam tangan Nana dan membawanya ke sofa. "Makan dulu, oke? Jimin juga sudah pesan Jajangmyeon kesukaan Nana," katanya lembut.
Namun, si cantik malah menggeleng dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
"Nana... Nana harus makan, ya?" Jimin mulai bingung. Dia khawatir, tapi tak sanggup jika harus memaksa.
"Nana sekarang sendirian Jim...." Tetes bening air mata jatuh sudah ke pangkuan Nana yang terisak layaknya anak kecil.
"Tidak. Nana tidak sendirian. Ada Kakak Nana, Jimin, Mia, dan masih banyak yang lain." Sesegera mungkin Jimin menghapus air mata sang hawa. "Nana tidak pernah sendirian, Sayang...."
Hanya saja kalimat Jimin diabaikan dan Nana lebih memilih untuk terus menangis. Tetapi, Jimin tak menuntut agar Nana berhenti dan justru terus menggenggam tangan halus sang dara, memastikan bahwa dia ada di sana akan tetap mendampingi Nana.
"Mau peluk?" Jimin hati-hati bertanya, saat Nana mulai sedikit lebih reda menangisnya.
Gadis itu menggeleng pelan. Serta di saat yang sama, bel depan berbunyi disambung dengan pesan masuk dari pengantar paket. Jimin pun langsung bergegas mengambil pesanan makanan, meninggalkan Nana sebentar yang masih sesegukan.
"Cha! Makanan kesukaan Nana." Jimin menaruh Jajangmyeon di hadapan si cantik Kim, sengaja agar Nana bisa tergoda dengan mie kacang hitam tersebut. "Nana makan, ya. Sedikit saja," bujuknya lagi.
Tetapi, namanya yang baru kehilangan, mana ada rasa untuk makan. Justru hatinya kembali nyeri mengingat hari-hari sendirian yang akan dijalani.
Beruntung, Jimin tetap sabar mendampingi, menemani Nana hingga si cantik akhirnya mencicipi makanannya meski hanya sedikit. Dan termasuk ketika malam, tak sedikitpun Jimin meninggalkan sang hawa. Ia di sana, tetap di samping Nana, selalu.
Dan semoga, gadisnya bisa segera ceria lagi dengan cepat. Bagaimana pun juga, Nana tidak pernah sendirian.
--FIN--
•
Udah lumayan lama gak nulis, jadi maaf kalau tata bahasanya berantakan :")
Dan mohon doanya buat orang tua Nana yaa 🥺
Borahae 💜