Cuaca di Seoul sedikit kurang bersahabat sejak tadi sore. Angin sedikit kencang disertai mendung yang menggantung di langit. Para pejalan kaki buru-buru bergerak karena takut diguyur hujan yang tidak bisa dipastikan kapan akan datang. Halte bis penuh, satu dua tidak sabaran menunggu kendaraan yang akan mengantar mereka ke dekat rumah.
Di kamarnya, Jimin menghela napas karena bosan ditemani sunyi. Semua member ada kegiatan masing-masing. Taehyung berkumpul dengan squad-nya, Namjoon jalan-jalan, Jin sibuk dengan eksperimen di dapur, Jungkook menjaga Miku di rumah, Suga tidur dan J-Hope... sepertinya sibuk di labnya sejak kemarin. Tersisa dia yang tidak punya kegiatan di hari libur yang jarang-jarang ia dapatkan.
Dihubunginya Nana, tapi gadis itu masih sibuk dengan urusan restoran dan Jimin memaklumi untuk tidak mengganggu. Terakhir, dia pun memilih untuk coba tertidur. Semoga bisa, daripada harus dikurung kebosanan.
—♡ —Terbangun ketika ponselnya berbunyi nyaring, Jimin pun mengucek mata. Ada nama Nana yang tertera di layar, membuatnya langsung menjawab panggilan tersebut sambil merenggangkan tubuh.
“Hmm?” sapanya sambil memandang ke luar. Sudah malam ternyata.
“Buka pintunya, aku di luar.”
Demi Tuhan, Jimin langsung meloncat turun dari ranjang dan bergegas menuju pintu. Masa bodoh dengan celana pendek dan kaos kusut yang pakai, Nana yang terpenting saat ini.
“Hai, maaf aku—“
“Baru bangun?” potong Nana sembari tersenyum simpul, paham dengan keadaan sang pacar yang sangat kentara baru bangun tidurnya. Berantakan.
Jimin mengangguk, mensilakan Nana untuk masuk dan mengambil alih belanjaan di tangan si cantik. Nana duduk setelah tertawa saat menyadari betapa berantakannya tempat tidur itu. Jimin menggaruk kepala, malu juga karena diketahui sang kekasih bahwa dia cukup berantakan.
“Jim.”
“Hmm?”
“Jalan-jalan yuk.”
Kening Jimin berkerut. “Bukannya tadi mendung? Kalau hujan bagaimana?” tanyanya.
“Bisa pakai mobil.”
“Eum... mau jalan-jalan ke mana memangnya?”
“Ke mana saja. Aku suntuk.” Nana mengangkat bahu, menyerahkan keputusan ke Jimin yang menaruh handuk ke bahu.
“Baiklah. Oh ya, kau mau mandi bersamaku?”
“Byuntae!”
Jimin terbahak. Ayolah... kenapa Nana harus malu, padahal mereka sudah eum... kau paham sendiri apa maksudnya.
—♡ —Sepuluh menit waktu yang terbilang singkat untuk Jimin mandi. Pria seksi itu keluar hanya dengan handuk yang melilit di pinggang—dan itu berhasil membuat Nana yang sedang makan tersedak. Alih-alih kasihan, Jimin malah tertawa dan santai mengambil pakaian yang akan dikenakan.
“Kau sudah melihat apa yang di balik handuk ini, Na,” kata Jimin mengingatkan.
“Begitu juga dengan mantan-mantanmu.”
“Mereka tidak.”
“Heuh?”
Jimin mendekat, merunduk, lantas mengecup bibir merah yang ia suka dengan gerakan cepat. “Aku baru melakukannya denganmu,” kerlingnya.
Pipi Nana merona. Ingat bagaimana panasnya mereka dua minggu yang lalu. Kali pertama dia menyerahkan diri secara suka rela ke seorang lelaki.
“Jangan membuatku membatalkan rencana dan mengubahnya jadi kegiatan yang berbeda, Na.” Jimin menegur karena rona wajah Nana yang menggoda untuk disentuh lebih.
“Memangnya mau melakukan apa?” Nana malah menimbulkan pertanyaan berbahaya. Entah karena benar-benar tidak tahu atau hanya ingin mengetes Jimin, tapi yang pasti membuat pria di hadapannya jadi membasahi bibir.
“Kau pura-pura tidak tahu, heum?” tanya Jimin dengan mata menyipit.
Nana tertawa dengan gugup. “Cepatlah, bersiap,” kilahnya menyuruh Jimin.
“Cium dulu.”
Tanpa menunggu persetujuan, Jimin sudah mencuri sebuah kecupan di bibir Nana, membuat gadisnya itu memprotes sebal.
—♡ —Jalan-jalan katanya, tapi mereka hanya menelusuri jalan tanpa tujuan yang pasti hingga hujan yang tertahan sejak tadi sore akhirnya turun dengan lebat. Beruntung mereka berada di lingkungan rumah Nana, jadi ke sanalah Jimin menjalankan mobil.
Mereka berdua buru-buru lari saat baru keluar dari mobil. Yah, meski sia-sia. Tanpa payung atau pelindung, hujan yang lebat membuat mereka kuyup dalam sekejap. Jimin mengomel sebab bajunya basah hingga ke dalam.
“Jim... dingin.” Nana yang lebih kebasahan dari Jimin memeluk tubuhnya sendiri. Memunculkan rasa tidak tega di hati si pria.
“Sini.” Jimin melangkah, kemudian memeluk gadisnya dengan erat.
“Jimin hangat.” Nana memejamkan mata saat hangat tubuh Jimin tersalurkan padanya.
Jimin melirik. “Nana suka?”
“Mm.”
Jimin menangkup wajah Nana, lantas menyentuh bibir yang sebelumnya basah karena air hujan. Disesapnya dengan lembut dan hati-hati, baru kemudian lidahnya ikut ambil bagian untuk merasai Nana yang pasrah diberi kehangatan.
“Na... sayang Jimin, kan?” tanya Jimin sembari coba menahan hasratnya yang meletup-letup.
“Kenapa?” Dengan mata polosnya Nana menatap. Tangannya yang melingkari pinggang Jimin membuat posisi mereka semakin intim dan sekaligus membuat Jimin makin kesulitan menahan diri.
“Puaskan Jimin, ya. Untuk malam ini.”
“Eh?”
Belum sempat bertanya lebih lanjut, Jimin sudah dulu membungkam bibir sang kekasih dengan ciuman panas khas dirinya. Nana kewalahan, tapi Jimin tidak peduli. Sambil melakukan itu, Jimin juga membawa Nana ke kamar dan menjatuhkannya ke tempat tidur. Wajah si cantik merona dengan bibir memerah akibat perlakuan Jimin, namun yang melakukan malah sibuk melepas pakaian dan membuangnya ke lantai.
“Say my name, Na.” Jimin berkata di sela ciumannya di wajah dan leher Nana.
Nana tidak mengindahkan permintaan Jimin. Dia lebih sibuk memejamkan mata dan memegangi tubuh sang kekasih. Tubuhnya bereaksi dengan baik atas sentuhan yang Jimin beri, dan otaknya menstimulus bahwa yang diinginkannya saat ini hanya Jimin, tidak yang lain.
Tidak ingin berlama-lama, Jimin pun langsung menyatukan tubuhnya dan Nana—membuat kekasihnya memekik kaget karena ia melakukannya secara tiba-tiba. Satu hentakan, dua hentakan, Nana mulai mendesahkan nama si lelaki. Gerakan itu dipercepat, membuat Nana kewalahan, dan terkadang pula Jimin sengaja mendorong dalam-dalam miliknya demi membuat cengkeraman Nana di punggungnya jadi menguat.
“Kim Nanaaa...!” Jimin menggeram saat kegiatan panasnya hampir mencapai klimaks.
Nana memegangi bantal di kepalanya erat-erat saat Jimin tanpa ampun bergerak dengan cepat di tubuhnya. Jimin yang mengecupi bibir yang terkasih tak mampu menahan erangan. Di sela gerakan yang dipercepat, bibir yang bertaut, tangan Jimin juga tak tinggal diam untuk menyentuh area lain.
“Jimhh!”
“Hnggh!”
Jimin ambruk di tubuh Nana ketika pencapaiannya sampai. Peluhnya menetes, tanda bahwa suhu di luar sana tak berpengaruh padanya. Nana juga sama, terpejam dengan napas terengah karena Jimin. Namun tidak dipungkiri bahwa dia tetap cantik meski berantakan seperti ini.
“Na, lelah tidak?” Jimin bertanya sambil mencium telinga sang kekasih.
“Kenapa?”
“Satu ronde lagi ya. Atau cukupkan sampai tengah malam.”
“Jim....”
Lambat. Jimin sudah bangun dan kembali bergerak setelah mengubah posisi Nana.
Oke, baiklah. Semoga besok Nana bisa masuk kerja dengan baik.
—FIN—