🎶 Honja jjujeo anja
Saenggag man keojyeoga
Eonjebuteo neon nal apeuge haessdeonga
Neo jochado moreujanhaNeodo apeujanha 'cause you’re mine
I just want to blow your mind
Ireohge neon tto meoleojyeo man ganeunde
Amuleohji anheunde
Geuleohge malhaneunde
Sasileun naega, geuge aninga bwaI want you to be your light, baby
You should be your light
Deoneun apeuji anhge
Nega useul su issge
I want you to be your night, baby
You could be your night
Ibami neoege soljighal su issge 🎶♥
Suara lembut Jimin mengalun merdu di ruang tengah apartemen mewah tersebut. Mengisi sunyi katanya, sebab Nana masih sibuk membersihkan diri setelah pulang bekerja. Suara percikan air di lantai kamar mandi menandakan aktivitas si cantik belum selesai, tapi Jimin tidak masalah akan hal itu.
Lima menit berlalu lagi. Kegiatan menyanyi Jimin berganti jadi membuka ponsel Nana, memeriksa folder foto dan tersenyum manis melihat wajah cantik sang kekasih yang diabadikan kamera.
"Melihat apa?"
Harum sabun menyergab udara di sekitar Jimin. Lelaki kelahiran tahun 1995 itu tersenyum, mendongak dan mengecup bibir yang tepat di atasnya. Nana diam, membiarkan sang kekasih menyalurkan rasa hangat ke tubuhnya yang dingin.
"Manis." Jimin menjilat bibirnya setelah Nana menjauh.
"Tadi melihat apa?" Pertanyaan sebelumnya disebutkan lagi oleh Nana.
"Fotomu."
"Hmm."
Jimin melirik Nana yang duduk di sampingnya. Paha mulus kekasihnya yang tersingkap akibat piyama model bertali di pinggang sangatlah menggoda. Bayangkan jika simpul itu ditarik... Ah! Cepat-cepat Jimin menjauhkan pikiran kotornya.
"Jim."
"Ya?"
"Besok kau sibuk?"
"Tidak. Kenapa?"
Hening sejenak sebelum akhirnya Nana bicara, "Besok di sini saja, ya. Bersamaku."
"Kukira apa." Jimin tertawa kecil sambil mengusak rambut yang terkasih. "Aku akan menemanimu," janjinya kemudian.
"Malam ini juga?"
"He-em."
"Janji? Tidak akan meninggalkanku sendirian?"
Buru-buru Jimin mendekatkan duduknya ke Nana yang nampak jelas sedang khawatir. Pasalnya tempo hari Jimin memang pulang tanpa izin pada tengah malam saat Nana masih tidur. Akibatnya, gadis itu mengamuk esok harinya dan tidak ingin menemui lelaki pujaannya itu.
"Aku janji, Nana Sayang." Jimin meremas tangan sang kekasih, berusaha meyakinkan si cantik.
Tidak ada jawaban. Namun, Jimin berinisiatif untuk mengusap pipi yang terkasih, lalu tersenyum manis.
"Kau menginginkan sesuatu?" tawar Jimin kemudian.
Hening sejenak, tapi selanjutnya Nana mengangguk malu-malu.
"Perlu apa, hmm?" tanya Jimin lembut.
"Jangan tertawa tapinya."
Kening lelaki dewasa itu berkerut. Tetapi, demi menghargai perasaan wanitanya, dia pun mengangguk.
"Bibirmu. Aku mau itu."
Jimin mengerjap, sedang Nana wajahnya merona.
"Nana...."
"Kalau tidak mau—"
Bibir yang bicara seketika bungkam saat bibir lainnya menyatu dengan pas layaknya puzzle. Nana kesulitan mengimbangi saat Jimin menekan tengkuknya agar ciuman mereka semakin memanas.
"Jim—"
Terputus lagi sebab Jimin seperti tak memberi kesempatan untuk Nana mengeluarkan suara selain desah yang tertahan. Tangan lelaki itu mulai bergerak, menyelinap di balik kain bagian paha dan mengusap lembut. Nana mulai menegang, semakin kesulitan mengendalikan diri dan hanya bisa memasrahkan diri terhadap apa yang akan dilakukan Jimin selanjutnya.
"Eumh!!"
Nana mencengkeram pinggiran sofa ketika dua jemari Jimin memasuki tubuhnya. Sedang ciuman lelaki itu masih berlanjut.
"Jim... shh!"
Dengan mata terpejam, Nana membiarkan Jimin bertindak lebih jauh dengan tubuhnya. Selalu, dia tidak akan pernah bisa melawan lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya ini. Pasrah, itulah satu-satunya yang bisa ia lakukan.
"Nana Sayang, aku perlu hal lebih."
"Jim—"
"Layani aku dengan baik, Sayang."
—FIN—