101. Kepiluan Jiwa (3)

3.5K 343 8
                                    

Dia telah melakukan hal bodoh, dirinya bahkan digandrungi rasa kebingungan menghadapi kemarahan Arya tanpa mengerti bagaimana cara menenangkan suaminya sendiri. Tangan Dwina mengepal gemetaran, kedua matanya menatap nanar saat Arya semakin menggeram keras. Bila ia mencoba menyentuh Arya lagi, lelaki itu akan semakin meledak. Jadi Dwina memutuskan untuk diam walaupun dia tersiksa karena masih termangu dengan wajah tololnya.

"Terserah.. Terserah kamu mau melakukan apa." Dalam arti tersirat Arya lepas tangan. Kalimat itu langsung membuat Dwina gemetar. Ia tidak mau Arya menyerah, melepaskannya. Ia akan mengaku salah dan meminta maaf bila hal tersebut yang Arya, namun Arya sama sekali enggan mendengar kata-katanya.

Arya keluar rumah membanting pintu, sedang sesak di dada Dwina makin menjadi-jadi. Apa yang sebaiknya dia lakukan? Apakah mengejar Arya? Mustahil, kaki Dwina membeku di tempat bahkan seluruh pandangannya bagaikan berkabut tebal.

Bibir Dwina gemetaran, dan ia berusaha menghentikan kondisi tak terkendali ini dengan menggigit bibir bawahnya sekuat mungkin. Sakit rasanya, mungkin ia melukai hingga berdarah. Tetapi hati terdalamnya berubah dingin seolah menahan segala persepsi rasa sakit tersebut menjadi mati rasa.

Arya membutuhkan waktu sendirian. Dia pasti mencoba menenangkan diri. Pikir Dwina masih mencari pembenaran. Tidak apa jika mereka berjauhan sejenak. Nanti mereka akan berbicara kembali setelah semuanya tenang.

Napas Dwina tersengal, ia terburu menyentuh tembok sebagai pegangan. Ia nyaris limbung akibat rasa terkejutnya tadi. Di saat seperti ini dia harus tetap bertahan, bagaimanapun caranya. Dwina tidak peduli.

Kefrustasian-nya menumpuk dan meledak. Arya sudah tidak bisa menahan lagi, terutama kabar tentang Jordan si lelaki brengsek itu. Dari informasi tersebut secara tersirat bahwa nyawa Dwina terancam. Sungguh Arya kesulitan berpikir, kenapa harus istrinya yang di incar? Dari sekian banyak kemungkinan mengapa Dwina sial sekali.

Ditambah lagi dia mendapati lelaki masa lalu Dwina mencoba menghancurkan hubungan mereka. Mungkin dia terlalu bersikap berlebihan melihat keduanya bertemu, apalagi dia tau Dwina tidak akan terpengaruh oleh desakan lelaki itu. Tetapi Arya sudah bisa membayangkan kalau kedepannya lelaki itu akan bersikap makin keterlaluan. Hari ini dia berani menyentuh tangan istrinya, bagaimana dengan besok? Memikirkannya saja membuat Arya mau menghajar lelaki itu bertubi-tubi.

Dengan rahang yang terkatup kuat hingga menampilkan guratan urat dan keningnya berkeringat panas, Arya melangkah menuju mobilnya. Seluruh tatapan dia menggelap, bagaikan tak ada lagi kompromi. Sikapnya saat ini begitu otoriter bahkan terhadap istrinya sendiri.

Arya masuk ke dalam mobil, tak ada habisnya memukul keras stir mobil. "Sialan! Sialan! Sialan!... Ahk,..." Kepalan tangan Arya gemetar kuat, darahnya mendidih sampai ke otak, ia kesulitan meredakan amarah yang semakin membakar jiwanya. Ia harus segra mengembalikan akal sehatnya, ia tidak boleh tenggelam terlalu lama. Arya memperingatkan dirinya sendiri. Bila ini berlangsung lama yang ada dia akan menjadi lengah.

Setengah jam berlalu Arya berdiam di dalam mobil. Gelombang panas di dalam pandangannya kini meluruh, deru napasnya perlahan teratur walaupun api itu masih belum padam.

Arya yang sedang menyandarkan kepalanya di kemudi mobil mulai menatap buket bunga anggrek putih keunguan. Ia tadi berencana memberikannya pada Dwina, memberi hadiah sebagai ucapan selamat atas kehamilannya. Sayang sekali, ia telah menghancurkan momen tersebut.

"Dwina..." Panggil Arya dengan suara lirih hingga menyayat jiwanya. Sungguh Arya menyesal telah membentak perempuan itu. Dwina pasti ketakutan melihat ia kehilangan kendali. Dia bahkan hampir mendorong istrinya untuk segera menjauh dari sisinya. Arya kembali teringat tatapan kebingungan yang Dwina padanya.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang