18. Perasaan ini (6)

30.9K 3K 24
                                    

Happy reading...

Kembali pulang.

Dwina mengamati rumahnya dengan seksama, mencium perlahan aroma khas rumah yang begitu familiar. Bahagia itu sederhana, dia sudah senang dengan semua ini. Dwina menuju kamarnya, merebahkan diri di atas ranjang berdominasi oleh warna merah muda. Akhirnya dia dapat mengendurkan punggungnya yang kaku dan bermanja bergelung di dunianya sendiri yaitu kamar mungil miliknya.

Tidak ada Bandung hari ini.

Serta tak lagi Dwina harus berhadapan dengan Arya Wijaya lelaki yang sanggup membuat dirinya kelimpungan.

Sekilas Dwina teringat ucapan Arya kemarin tentang membuka perasaanya. Sebenarnya dia belum ada pengalaman hubungan khusus bersama seorang pria. Bagi Dwina, lelaki adalah makhluk yang perlu diwaspadai, dia sulit mengartikan perasaan mereka sebab mereka tidak bersifat sensitif seperti perempuan terutama bila sedang marah.

Dwina takut salah bertindak, berbicara dan mengambil keputusan tepat agar interaksi di antara mereka bukan menjadi hal yang akan membuat dia malu. Padahal lelaki itu merupakan orang sederhana. Tapi tetap saja sulit untuk Dwina membuka perasaannya agar lebih nyaman.

"Kenapa kamu nggak pacaran?" Itu pertanyaan Arya ketika mereka sedang diperjalanan ke Jakarta. Sekali lagi Dwina harus satu mobil dengan Arya, tentu ada berbagai alasan yang memaksa Dwina harus melakukan itu.

"Males aja." Jawab Dwina sambil menurunkan hpnya ke atas pangkuan. Tadi dia sempat mengirim chat ke teman kampusnya.

"Maksud kamu bagaimana? Pacarankan lumayan seru?" Arya membuat nada antusias dan sepertinya dia terlihat bangga telah memiliki setengah lusin mantan pacar. Pacaran berguna membunuh kesepian di saat sedenag sendirian. Itu cukup bermanfaat.

"Aku tuh males pacaran. Males mikirin dia seharian, males kangen sama dia, males cari-cari alasan bisa ketemuan sama dia. Males deh pokoknya. Coba, kalau pacaran memang cukup pegangan tangan? Cukup pelukan aja? Pasti mau lebihkan seperti ya.. begitulah. Intinya nggak enak. Nggak puas."

"Maksudnya 'begitulah..' itu bagaimana?" Ini orang terlalu naif atau pura-pura nggak tau. Benak Dwina mendesis belas atas pertanyaan Arya. Dia bisa lihat kalau Arya sedang menahan tawa.

"Seks dan sejenisnya. Bukan cuman laki-laki ajakan yang berfikir begitu? Setan ada dimana-mana dan hawa nafsu cukup mengerikan." Timpal balik Dwina dengan santai karena Dwina menggap mereka sudah sama-sama dewasa. Mungkin Dwina sudah over dosis mmembaca banyak novel erotis romantis. Jadi begitulah pemikirannya sulit lepas dari berbagai hal berbau seks. Dia bukanlah perempuan naif karena dirinya juga mengharapkan imajinasi erotisnya menjadi kenyataan tapi harus dituangkan pada orang yang halal bukan pada sembarang laki-laki.

Arya tidak percaya tampang datar dan lugu Dwina berhasil menipunya. Parahnya penjelasan barusan Dwina membuat ia tak berkutik.

"Jadi kamu maunya nikah?"

"Ya. Aku maunya nikah. Laki-laki yang serius sama aku itu bukan ngajakin aku pacaran tapi berkomitmen. Waktu itu pernah Joshua berani ngelamar aku langsung dihadapan Ayah walau langsung di tolak sama Ayah dan Kak Bayu karena aku belum lulus kuliah"

Hati Arya memanas mendengar ada saingan yang sudah bergerak lebih cepat darinya. Kehadirannya memang sangat terlambat untuk mengenal Dwina. Joshua, Arya ingat Dwina pernah bercerita sedikit tentang lelaki itu bahwa dia adalah teman masa SMA Dwina dan sekarang sedang mengambil jurusan kedokteran.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang