17. Perasaan ini (5)

30.6K 3K 30
                                    

Syok anafilatik. Dapat menyebabkan kehilangan kesadaran bahkan kematian bagi seseorang yang mendapatkan kondisi alergi. Reaksi ini terjadi dalam hitungan detik atau menit bila berkenan dengan agen pemicu alergi, dimana tekanan darah akan menurun dan saluran pernapasan terhambat.

Dokter mengatakan demikian atas keadaan yang terjadi pada Dwina. Tapi belum ditemukan apa faktor resiko alergi tertentu hingga Dwina mengalami syok anafilatik. Jika alergi dingin adalah penyebabnya lalu kenapa efeknya baru terasa hampir dua puluh empat jam?

Dwina perlu melakukan sejumlah tes alergi demi menghindari skenario terburuk terulang kembali. Namun bukan sekarang, Dwina menekankan itu pada Arya. Ini masalah biaya, waktu dan tempat. Dwina tau dari kak Bayu kalau sebentar lagi masa cuti kerja Arya akan berakhir. juga harga tes alergi di rumah sakit ini terbilang mahal belum di tambah biaya rawat inapnya. Dwina berusaha memperhitungkan semuanya dengan baik.

"Di Jakarta juga bisa." Dwina duduk di tepi ranjang setelah seorang perawat melepaskan jarum infusnya.

"Kenapa harus di Jakarta?" Pertanyaan Arya diulang kembali. Dia butuh penjelasan logis atas penolakan Dwina.

"Ya nggak papa. Kak Bayu juga bolehin kok." Maksudnya Arya belum ada berhak mengambil keputusan atas Dwina.

"Kata dokter mendapatkan hasil tes secepatnya bisa memperkuat diagnosanya. Ada kemungkinan kamu alergi obat."

"Tipe obat non steroid anti inflamasi. Aku pikir juga begitu. Tapi selama aku nggak konsumsi obat itu untuk sementara waktu ini, semua bakalan baik-baik aja." Dwina turun dari ranjangnya. Hari ini dia sudah diizinkan pulang meski dokter benar-benar merokemndasikan tes alergi namun pilihan tetap berada di tangan pasien.

Arya menghela napas berat. Dia meraih tas di atas sofa dan membantu Dwina jalan keluar dari rumah sakit. Arya masih belum menyangka jika Dwina mempunyai sisi keras kepala meskipun dia berbicara dengan nada terkendali hingga orang lain berfikir Dwinalah yang mendapat poin tertinggi dari obrolan mereka.

Mereka berdua pulang ke kediaman orang tua Arya dan rencananya besok baru akan balik ke Jakarta. Dwina merasa empat seperti satu bulan lamanya, serta ia butuh sekali melepas penat.

Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai, Dwinapun langsung berisitirahat di kamar Arya. Hampir semua anak-anak di rumah keluarga besar Arya penasaran atas kondisi Dwina dan langsung ikut masuk ke dalam kamar. Mereka melontarkan berbagai pertanyaan yang sedikit membuat Dwina kewalahan.

"Teteh serem banget badannnya pada merah-merah." Fadli menyentuh lengan Dwina yang terdapat ruam merah.

"Iya memang serem," balas Dwina antusias menghadapi pertanyaan itu.

"Teteh pasti rasanya gatel banget ya?" tanya Fadli.

"Teteh abis digigit nyamuk?" tanya Ganda.

"Teh dapet dokter ganteng nggak?" pertanyaan ini di lontarkan oleh gadis remaja bernama Karen anak pertama abang Ares tentu sontak membuat Dwina menaikkan sebelah alis matanya.

"Apa?" Dwina terkekeh pelan. Sedikitpun dia tidak pernah memikirkan hal tersebut meskipun memang sang dokter terbilang cakep dan profesional.

"Anak kecil nggak boleh disini, yang boleh anak gede aja."

Arya gerah mendengar ucapan Karen barusan. Sedangkan Dwina tertawa melihat Arya mengusir para keponakannya kemudian dibalas desisan serempak dari mereka.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang