8. Mengenal (6)

35.4K 3.4K 19
                                    

Dwina begitu cekatan dalam memasak dan ekstra cepat juga setelah peralatan masak dipakai Dwina akan langsung mencucinya katanya supaya tidak menumpuk. Kurang dari empat puluh menit semua sudah selesai, tinggal menikmati hasilnya. Dwina juga membuatkan puding dan teh hangat.

Sedangkan Arya kelelahan sekali, pegel berdiri lama potongin ayam sama bakso. Padahal Dwina tadi memberikan kiat memasak begitu mudah, tidak seperti ibunya dan teh Bika yang menurutnya super ribet.

Entah kenapa semakin Arya melihat lebih sisi lain diri Dwina kenapa perempuan itu terlihat lebih cantik dan spesial? Dwina bukan perempuan yang berbicara tanpa aturan, semua yang diucapkan selalu baik dan lembut. Marahnya Dwina adalah diam. Dwina bisa dengan mudah menjelaskan sesuatu sesuai dengan pikirannya tanpa terlihat dilebihkan. Dia tampak nyaman menjadi dirinya sendiri, tak peduli apa orang lain katakan tentangnya. Tentu dia juga bisa paham apa maksud tujuan setiap ucapan Arya, meskipun hanya isyarat saja.

"Dwina buatin sarapan?" Tanya teh Bika. Dia terkejut ternyata cukup banyak yang Dwina siapkan. Bahkan makanan untuk anak kecil.

"Aku yang buat kak." Balas Arya merasa sebal tidak diikut sertakan acara masak kali ini. Lihat tanganya kegores-gores akibat memotong bakso.

"Masa? Nggak percaya tuh." Balas teh Bika dengan nada meledek.

Kemudian dilanjutkan orang-orang ikut datang ke dapur mencium aroma nasi goreng. Ibunya Arya langsung sumringah dapat libur masak untuk sarapan apalagi yang memasak adalah Dwina. Nggak papa, ia senang calon mantu menunjukkan skill di hadapan calon mertua.

Mereka semua memulai sarapan. Dwina duduk di samping Arya dan bertanya "Enak nggak nasi gorengnya?"

"Enak banget.. Pinter kamu masaknya" tukas Arya sambil memberi ekspresi puas.

"Tadi aku ngasih garam kebanyakan takut keasinan"

"Nggak papa. Ini udah pas." Ujar Arya meyakinkan Dwina. Nasi gorengnya sangat enak tidak terlalu pedas, asin dan manis. Rasanya pas di lidahnya.

Keluarga besar Arya saling mengerjap mengamati obrolan Arya dengan Dwina yang bertingkah seperti sepasang suami istri. Teh Bika mencolek pinggang Arya lalu memberi isyarat mata ke arah ibunya yang kesemsem melihat Dwina. "Parah kamu, ngasih harapan palsu sama ibu." Tukas teh Bika sambil berbisik pelan di telinga Arya. Bener juga apa yang dikatakan teh Bika padanya, padahal Arya dulu sering mengajak mantan pacarnya dulu ke rumah tapi respon ibunya biasa aja. Rasa bersalah mendera pada batinnya. Ibunya sudah jatuh hati pada Dwina dan Arya tidak memprediksi hal itu.

"Kenapa kamu masuk kuliah Farmasi kenapa ngak kedokteran aja?" Sudah banyak yang menanyakan hal itu pada Dwina sampai ia merasa bosan.

"Karena uangnya kurang memadai dan ibuku minta lebih baik buka apotek deket rumah saja. Katanya kalau aku udah nikah jadi nggak perlu kerja lama diluar. Bisa langsung ngawasin anak juga." Jawaban Dwina benar-benar membuat terpaku para orang dewasa dimeja makan. Dan jawaban itu membuat Ibunya Arya makin merasa senang.

"Memang istri itu lebih baik di dalam rumah" Ayahnya Arya ikut merespon. Teh Bika tidak habis pikir, Dwina benar-benar membuat kedua orang tuanya makin jatuh hati kurang dari sehari. Hebat. Padahal dulu ketika teh Bika mau menikah dengan Bang Ares susah banget menaklukan hati ibunya.

"Pake pelet apa sih Dwina bisa taklukin hati ibu?" bisik teh Bika pada Arya, membuat adiknya itu tertawa pelan.

"Itu bukan pelet tapi ketulusan sebuah doa." Wedeh... Dada Arya terasa kembang kempis bangga dengan ucapannya sendiri yang didasari kenyataan. Memang bener Dwina itu rajin ibadah bikin energi positif keluar dari tubuhnya.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang