78. Bayangan Rasa (1)

7.1K 499 3
                                    

Author Pov 

Berapa banyak mereka berciuman seperti ini? Dwina enggan menghitungnya. Semakin hari dia tenggelam pada momentum tersebut yang teringat baginya adalah nama suaminya. Hari ini dirinya dalam keadaan sangat baik, sekali lagi Dwina memastikan itu. Namun sayang sekali debaran jantungnya bagaikan menghempasnya bertubi-tubi, dia bagaikan kehilangan arah dan pegangan, beruntung Arya memegangi tubuhnya dengan baik. 

"Ayo kita makan malam," bisiknya dengan napas berat sama seperti Dwina. Pastinya Arya memegang kendali lebih baik dari pada Dwina, lelaki itu masih dalam keadaan sadar seutuhnya. Arya menarik kursi makan untuk istrinya, lalu menghelanya duduk. 

Sebisa mungkin Dwina menstabilkan dirinya, walaupun dia agak kesulitan menghilangkan rona wajah yang mudah merah. Dia beringsut malu sambil meremas pelan ujung pakaiannya. Lain halnya dengan Arya, dia memandang istrinya lekat memperhatikan setiap siluet yang membuatnya sulit terabaikan. 

"Aku belum terbiasa." Seru Dwina dengan hati masih berdesir. 

"Itu bukan masalah, karena ciuman kita memang rasanya luar biasa." Arya tak akan pernah memungkiri hal itu. Dia senang dan bahagia bila mencumbu istrinya yang paling dia sayang. Dwina sukses memenuhi seluruh ruang dihatinya. 

Merekapun akhirnya menyantap makan malam dalam keheningan. Terkadang saling bertatapan tanpa bicara yang menurut mereka lebih dari cukup untuk mengisi kehidupan rumah tangga sederhana mereka. Dwina akan berusaha mengerti diri Arya, disisi lain Arya memberikan seluruh hidupnya untuk sang istri. Andai Dwina menyadari seutuhnya apa isi hati Arya dia tak akan pernah berpikir untuk bisa melepas ikatan kuat di antara mereka.

Usai makan, mereka membereskan peralatan makan setelah itu berencana mandi bersama untuk membersihkan diri. Tanpa sungkan Dwina melompat ke pelukan Arya dan suaminya langsung menggendong dia kepelukannya dengan erat. Ini satu kebiasaan baru yang paling Dwina sukai, sejak lama dia memang tipikal perempuan manja namun Arya adalah orang yang sangat nyaman baginya sampai merasuk ke relung hati. 

"Ayam-ayam apa yang nggak bisa terbang?" tanya Dwina memberikan tebakan aneh sambil menahan tawa. 

"Kan ayam normal memang nggak bisa terbang, tapi lompat." Mendengar jawaban Arya, Dwina langsung memukul gemas punggung suaminya tanda kalau jawabannya tidak tepat. 

"Tapi aku pernah lihat ayam terbang."

"Itu namanya mendarat. Ayam nggak bisa terbang." Mendengar Dwina tergelak, Arya jadi ikut tersenyum. Ia tidak membayangkan kalau Dwina suka bertingkah aneh sendiri tapi itu sisi lain yang di sukai. Arya senang Dwina mulai beradaptasi dengannya secepat ini, padahal sebelumnya ia memikirkan banyak hal supaya Dwina merasa nyaman. 

Kemudian mereka menuju bilik kamar mandi untuk berendam sebentar. Kebersamaan mereka begitu lekat tanpa perlu mengkhawatir berbagai batasan perasaan. Malam ini hujan kembali turun deras, percumbuan yang di dasarkan oleh gelora menggebu tak layak di terjemahkan oleh logika. 

Kembali ke atas ranjang, di relung tubuh suaminya Dwina hanya bisa menerima berbagai sentuhan. Kecupan itu kini menjalar ke perut polosnya. Rasa dilema, kekhawatiran dan berbagai bentuk luapan emosi menyeruak di diri Dwina. 

"Kamu akan jadi ibu yang hebat." Dwina langsung menggelengkan kepala cepat, Arya salah berkesimpulan seperti itu. Tanpa bisa di bendung air mata Dwina pecah, entah penyebabnya karena dorongan ia mengalami tekanan emosi seksual ataukah perasaan buruk masa lalu yang masih tersisa. 

"Aku nggak sebaik itu." Menyadari Dwina menangis, Arya langsung membawa istrinya ke pelukan. 

"Tapi kamu akan memberikan yang terbaik untuk keluarga kita. Aku percaya sama kamu." Bisik Arya meyakinkan Dwina. Permasalahan mental juga trauma Dwina bagi Arya itu sangat mengerikan, Dwina sangat mengunci hatinya, mengunci sebagian besar jiwanya untuk bisa bangkit berdiri menajalani hidup. Berapa banyak luka yang sudah diterima Dwina, sungguh rumit Arya bayangkan. Bahkan gambaran singkat yang pernah Bayu ceritakan tentang masa lalu Dwina itu terdengar mencemaskan. 

Berulang kali Dwina masuk rumah sakit setelah beberapa hari di adopsi oleh keluarga Bayu. Dia kesakitan, memuntahkan segala makanan yang masuk ke dalam perut, sangat ketakutan pada orang dewasa dan sering menangis. Kejadian itu berat untuk dilalui Dwina. 

"Aku takut nyakitin dia.." Dwina bersuara lirih nyaris tak terdengar, tetapi Arya mendengarnya sangat jelas. "Kamu tau, anak bayi itu sangat rapuh, mudah menangis dan sakit." Dwina mencari alasan. 

"Dia mungkin akan hidup sehat. Kita bisa membayangkan bagaimana nanti dia berangkat ke sekolah TKnya dengan tas mungil?" Arya mencoba menghibur. 

Dwina langsung memejamkan matanya erat, sulit di pungkiri kalau dia memang mengharapkan memiliki seorang anak juga. Anak bayinya yang lahir dan akan dia tumpahkan segala cinta miliknya. "Ya Tuhan, aku sangat menginginkan dia." Membayangkan bayi itu di dalam rengkuhan, tangannya kecil, wajahnya mungil, mulunya yang menyesap kuat air susunya, hal tersebut persatuan emosi yang hanya bisa di rasakan jika ia menjadi seorang ibu. 

"Aku tahu. Aku tahu." Arya mengecup kening istrinya cukup lama. Meski demikian, Dwina tetaplah perempuan baik tanpa memiliki niat menyakiti, sesederhana itu. 

Arya melepas sejenak tubuh Dwina, diapun mengenakan pakaian kemudian membantu Dwina memakai baju. Mereka akhirnya beranjak tidur. Diri Arya tetap terjaga hingga memastikan istrinya tertidur lelap, Perubahan drastis emosional Dwina perlu dia awasi baik-baik, walaupun sudah menikah bisa dibilang kondisi Dwina belum stabil. Ada bagian-bagian perasaan Dwina yang belum pernah disinggung orang lain kecuali Arya. Arya bersyukur bahwa dia ada disaat Dwina membutuhkannya. Sekali lagi Arya mengecup kening Dwina. 

"Aku tetap ada disisi kamu jadi jangan khawatirkan apapun. Kamu boleh cerita apapun sama aku. Jangan pendam semua ini sendirian, karena aku sedih melihat kamu begini." Arya menghapus buliran air mata di pipi Dwina lalu mencium punggung tangan istrinya cukup lama bagaikan menancapkan sebuah janji. 

....................

Alarm berbunyi, Dwina kembali mengingat kalau hari ini Arya harus berangkat bekerja. Dengan setangah sadar Dwina mematikan alarm di hpnya kemudian beranjak bangung untuk membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan untuk mereka. 

Kini kehidupan hariannya sebagai seorang istripun di mulai. Tak begitu berat seperti apa yang dia bayangkan sebelumnya atau semua ini karena dia menjalaninya penuh bahagia. 

"Aku kira kamu pergi kemana." Seru Arya keluar kamar dengan ekspresi masih mengantuk mencari sosok Dwina yang ternyata ada di dapur. 

"Memangnya aku mau pergi kemana? Ini masih jam 6 pagi loh." Dwina terkekeh. Ada-ada saja ucapan suaminya itu. Sedangkan Arya menghela napas lega melihat kondisi Dwina kembali baik bahkan senyuman dia pagi ini sangat cantik. Arya langsung berjalan mendekat ke sisi Dwina untuk mendapatkan ciuman pagi. 

"Tentang semalam-" Dwina sedikit mencengkram dada Arya ketika mereka saling berhadapan. 

"Shttt... Nggak papa, aku nggak marah. Kamu mau menikah sama aku, mau terima untuk mengandung dan melahirkan anak aku aja itu udah lebih dari pada cukup." Wajah mereka begitu dekat, saling menyatukan kening sesaat Dwina membutuhkan perhatian penuh dari Arya. 

"Memiliki anak memang adalah bagian dari rencana pernikahan kita. Aku harus ingat itu." Kukuh Dwina memperingati diri sendiri serta meyakinkan Arya kalau dia tetap mengambilkan keputusan terbaik supaya mereka mendapatkan keturunan. 

"Jangan memaksakan diri. Kamu sudah terlalu lelah, kamu bisa menikmati hidup dengan baik. Ada aku yang milik kamu." 

"Aku sayang kamu." Mendengar pengakuan Dwina, Arya terdiam sejenak. Entah kenapa ucapan tersebut begitu dramatis dan menyayat hati Arya. Dwina memberanikah diri untuk mempercayai dirinya sepenuhnya, menyerahkan segala jiwanya untuk berbakti pada suami. Satu sisi dia sangat senang mendengar itu dari mulut Dwina, namun sisi lainnya Arya tidak ingin ada keterpaksaan. 

Perasaaan rumit apa ini? Ini tak sesederhana seperti aku menjadi milikmu. Perasaan Dwina bagaikan pisau bermata dua. Arya perlu membuat sebuah rencana untuk mengubah hal itu dan menyelematkan istri tercintanya. Nyatanya seorang Dwina Aryani lebih pelik tuk dihadapi serta sangat kelam jauh diluar dugaannya. Arya harus melindunginya, dia tidak ingin kehilangan seseorang yang paling di cinta untuk kedua kalinya dan merasakan sakit kesekian kali. 



Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang