22. Putri Anjani

9.6K 772 3
                                    

Sepatu high heels edisi terbatas berwarna perak nan cantik mulai dikeluarkan dari sebuah box, selama sesaat perempuan itu menahan napas karena kagum.

"Sumpah gue nggak nyesel banget!" Seru Putri Anjani sambil duduk di tepi ranjang, memasangkan sepatu itu di kaki jenjangnya dan diapun mulai berdiri dihadapan cermin melihat tampilan dirinya. "Sempurna."

Satu jam lamanya Putri menghabiskan waktu mempersiapkan diri untuk pergi ke acara pernikahan kakak seniornya. Dia harus berpenampilan sebaik mungkin sebagai bukti kalau ia turut berbahagia atas pernikahannya. Putri sampai tidak tanggung-tanggung memesan sepatu high heels edisi terbatas khusus untuk kali ini.

Dalam balutan gaun merah sederhana serta elegan, Putri kembali bersiap membawa tas tangan, hp, dan kunci mobil. Waktu sudah menunjuk pukul dua belas siang di mana resepsi pernikahan telah di mulai. Segera dia melangkah keluar rumah menuju garasi, "bu Jannah aku pergi dulu ya."

"Iya, hati-hati nak." Jawab bu Jannah dari ruang cuci baju belakang.

Putri melesak masuk ke dalam mobil bercat kuning favoritnya, menyalakan mesin selama beberapa waktu sambil membuka semua jendela mobil. Ia pernah membaca artikel bahwa ada penumpukan gas karbon dioksida berbahaya yang menumpuk di mobil yang tertutup, jadi demi menjaga sirkulasi udara baik, sebaiknya jendela atau pintu mobil di buka selama beberapa saat.

Putri memasang earphone di telinga kirinya, dia menghubungi Dwina. Masih dalam deringan ketiga panggilan telponnya belum juga terangkat. "Masih tidur kali ya dia? Dwinakan kalo hari libur suka molor."

"Halo." Terdengar suara Dwina di seberang telpon.

"Lemes banget wi, udah siang nih." Omel Putri.

"Semalem aku begadang sampai jam empat, maraton baca novel." Dwina bangkit untuk duduk sejenak, ia melihat jendela telah memancarkan terik matahari. Sepertinya suhu di Jakarta mencapai empat puluh derajat celcius. Dwina mendesah karena gerah.

"Happy birthday wi. Sorry kemaren aku belom sempat ngucapin."

"Iya nggak papa, makasih banyak Put." Dwina memijit pelan pangkal hidungnya mencoba fokus.

Putri menginjak gas dan perlahan menjalankan mobil menuju ke hotel tempat pernikahan seniornya di adakan. "Jalan yuk, hari Rabu ada pameran lukisan di seberang kafe Candra." Mereka berdua memang penyuka berbagai macam pameran, melakukan penilaian, referensi, berbagi pemikiran lalu membuat kesimpulan masing-masing.

"Maunya jam berapa?"

"Jam sepuluh, mau?"

"Iya nggak papa. Lagi pula kelas aku ada sekitar jam tiga sore."

"Oke. Nanti aku jemput di rumah." Rumah mereka berdua hanya beda blok saja, butuh sepuluh menit jika jalan kaki.

"Aku ke rumah kamu aja."

"Sip deh. Ya udah bye.."

"Bye.."

Panggilan telpon mereka berakhir. Putri melepaskan earphonenya lalu menyalakan radio musik untuk menemani perjalanan. Dari segala banyak teman, Dwina yang paling membuat Putri nyaman. Persahabatan mereka telah mencapai empat tahun lamanya dan Putri bersyukur dia bisa satu kampus dengan Dwina. Siapa sangka juga jika Putri sengaja pindah rumah tahun lalu agar dapat bersama Dwina. Tidak ada orang paham kalau Putri sangat kesepian, ia butuh untuk ditemani.

Setibanya di lobby hotel, seorang lelaki membukakan pintu mobil Putri dan mempersilahkan dirinya keluar. "Hei Jordan." Sapa Putri dengan wajah sumringah. Putri mulai mengenal Jordan di suatu klub malam tiga bulan lalu. Mereka berdua akrab, apalagi Jordan mendekatinya tanpa niat berpacaran.

"Sepertinya elo ngehabisin banyak uang untuk tampilan hari ini. Gaun yang cantik." Jordan tersenyum miring. Diri Jordan berpenampilan sangat baik, satu setel jas formal berwarna cokelat dipasangkan oleh tubuh tingginya makin menambah kesan intens. Jordan memiliki pasang mata cukup tajam hingga membuat orang lain agak terganggu, dia mendapatkan gen ayahnya yang merupakan keturunan Australia.

"Puji gue sebanyak mungkin." Putri kemudian mengaitkan salah satu lengan Jordan lalu masuk ke dalam gedung acara.

"Elo tau sendiri, gue benci tempat kayak ini." Kemaren lusa baru saja Putri putus dengan pacarnya bernama Brain maka dari itu Jordan diminta oleh Putri untuk menemani perempuan itu ke pesta pernikahan. Putri terlalu gengsi jalan sendirian.

"Nggak lama. Kurang dari satu jam, oke?"

"Emang lo mau ngasih bayaran apa ke gue karena hari ini gue berhasil nggak ngejadiin lo bunga tembok tanpa pasangan." Meluluhkan hati Jordan untuk pergi ke sebuah pesta besar apalagi formal adalah hal tersulit bagi Putri. Kecenderungan Jordan terhadap keramaian amat tipis, dia benci beriteraksi atau basa-basi dengan banyak orang membuatnya risih. Hal itu membuat dia hanya mempunyai sedikit teman.

"Satu botol minuman anggur?"

"Bisa juga. Tapi elo juga harus ikut nemenin gue minum."

"Setuju." Putri masih dalam senyumannya setelah itu ia mencium pipi Jordan. Ada yang perlu diketahui jika Putri menganggap Jordan adalah saudara laki-lakinya. Kalau diminta untuk memilih manakah yang lebih baik antara Dwina dan Jordan, sungguh Putri tidak bisa melakukan itu. Dia menyayangi keduanya. Apalagi kedua orang tersebut sangat mengerti dirinya.

Jordan langsung menyeringai. Kecupan Putri di pipinya sukses membuat beberapa tamu undangan menontoni mereka.

Ballroom besar diiringi musik jazz menambahkan kesan romantis di pernikahan mewah ini. Putri sempat terharu merasakan kebahagian hari terindah bagi seniornya. Putri dan Jordan berjalan langsung ke pelaminan untuk menyalami serta mengucapkan selamat pernikahan kepada kedua pengantin.

"Aku mau makan es krim dulu ya?" Putri hanya mendapatkan anggukan dari Jordan. Acara pernikahan ini sangat ramai, Putri bisa melihat Jordan mulai jengah.

Setelah itu mereka mampir di stand makanan. Jordan mengambil minuman yang dibawakan seorang pelayan, dia telah hilang nafsu makan walaupun dia sama laparnya dengan Putri. "Put, nanti temenin gue makan di luar." Bisik Jordan di telinga Putri.

"Kenapa?"

"Lo nanya sesuatu yang nggak perlu ditanyakan."

"Oke-oke tenang. Sepuluh menit lagi sabar ya." Beberapa teman kampus Putri datang menghampiri dia. Sempat keduanya mengobrol sebentar lalu entah kenapa pandangan Putri terteju pada sesosok Arya yang tidak jauh dari posisi dia. Tidak ada perubahan dari pembawaan Arya, arogan, secara jelas lelaki itu juga menatapnya tanpa mencoba mengalihkan. Pandangan Arya begitu kelam, membuat Putri sedikit bergidik ngeri.

"Dia siapa Put?" Jordan mengikuti arah mata Putri.

"Mantan gue." Ada banyak kekecewaan dalam diri Arya kepadanya, Putri tau tentang itu.

_______________

Hei., Jangan lupa klik tombol vote⭐ dan tulis komentar kalian atas cerita ini,.

Terima kasih sudah membaca 😘 🥰

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang