11. Mengenal (9)

33.7K 3.1K 16
                                    

Seorang perawat keluar menyebutkan nomor antrean milik Dwina, segera Dwina dan Arya masuk ke dalam ruangan yang memiliki dominasi warna putih, bersih dan rapih sebagaimana tempat konsultasi kesehatan biasanya. "Silahkan duduk." Sapa sang dokter perempuan terlihat hampir mencapai empat puluh tahunan, mata sayu dibalik kaca matanya menambah kesan ramah.

"Ada yang bisa dibantu ibu atau bapak?" Dokter itu menautkan kedua tangannya, tubuhnya tegap secara baik serta dia bersikap sopan menunjukkan bahwa dia profesional dalam bidangnya.

"Dia yang sakit." Seru Arya.

"Oh istri anda yang sakit." Pernyataan dokter membuat Dwina dan Arya terlonjak kaget bagaikan sengatan. Kalau mereka disangka berpacaran sepertinya masih bisa mereka toleransi.

"Dia.. bukan istri saya." Arya langsung meluruskan keadaan.

"Okey." Dokter mengangguk paham tanpa memudarkan senyumannya, lalu dia melakukan pendataan pasien terlebih dulu di komputernya, seperti sudah pernah berobat di tempat tersebut dan alamat rumah.

"Pasien non Dwina. Ada keluhan apa?"

"Saya kena alergi dingin." Dwina melepaskan syalnya yang menunjukkan ruam merah di lehernya.

"Apa yang dirasain? Gatal, panas?"

"Gatal dok." Dokter memeriksa bagian-bagian lain yang terkena alergi.

"Boleh saya periksa suhu tubuh kamu." Kali ini dokter mengeluarkan termometer dan mengecek suhu di telinga Dwina. Didapatkanlah hasil tiga puluh delapan derajat celcius.

"Kayaknya kamu juga demam. Nanti saya kasih tambahan obat penurun panas. Ada gejala lainnya, seperti radang, batuk, pilek?"

"Radang kayaknya dok." Tenggorokan Dwina memang terasa sulit ketika menelan. Dokter pun memeriksa mulut Dwina dengan sebuah senter kecil.

"Oke. Anda bisa tunggu di luar, nanti saya akan siapkan obat yang diresepkan untuk anda. Apa ada yang masih bisa saya bantu?" Dwina menggelengkan kepala.

"Terima kasih dok." Dwina dan Arya pamit keluar. Mereka kembali duduk di ruang tunggu. Secara terang-terangan Arya mengamati Dwina yang sedang memakai kembali syalnya. "Ada apa?"

"Seharusnya tadi kita pergi pakai mobil aja." Mengetahui Dwina demam membuat Arya makin khawatir. Dia memang salah membawa Dwina ke Bandung dan dia harus terima konsekuensinya. Arya menyentuh kening Dwina yang dirasa cukup hangat, dari awal perempuan itu juga sudah memakai pakaian tebal menahan demamnya.

"Nggak papa kok. Jalan pakai motor juga seru." Dwina paham maksud Arya tapi dia tidak mau cowok itu bersikap berlebihan. Ini meresahkanya.

"Dwina. Sebenarnya aku sengaja bawa kamu ke Bandung ketemu orang tua aku. Mereka selalu tanya kapan aku nikah, mana calonnya, dan banyak lagi pertanyaan lainnya bahkan sampai ditawarin untuk dijodohin. Beberapa hari ini ibu aku sakit, aku khawatir dan mau balik ke Bandung tapi ibu aku pasti makin kepikiran kalau aku pulang tanpa bawa cewek." Arya kali ini ingin jujur semuanya pada Dwina, menutupi semuanya tidak berguna lagi untuk Arya.

"Aku udah tau."

"Dari Bayu?" Dwina memendam semuanya, bersikap seolah-olah semua biasa saja. Terus mengikuti alur tanpa banyak protes. Dia ternyata mempertimbangkan keputusan secara baik, sebab dia tidak ingin mempermalukan Arya di depan keluarga.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang