11. Potongan Kedua

394 70 1
                                    

Sadana tersenyum bahagia begitu dosen mata kuliah manajemen keuangan akhirnya keluar dari kelas. Pertanda jelas bahwa kuliah Sadana telah usai. Sadana bisa pulang untuk istirahat setelah beberapa hari ini dia terperangkap oleh banyak tugas yang lumayan menumpuk.

Sadana tampak melirik Mada yang duduk di kursi samping kursi yang dia duduki. Sejak dosen keluar dari kelas, Mada sibuk mengangkat telepon yang entah dari siapa, mengabaikan segala alat tulisnya yang masih berserakan di atas mejanya.

"Da"

Mada menoleh ke arah Sadana. Dia mengangkat satu telapak tangannya ke depan meminta Sadana untuk menunggu sejenak. "Iya, nanti Mada yang jemput kalo gitu" ujar Mada pada sosok diseberang sana.

"..."

"Iya Ayah" ucap Mada lagi sebelum kemudian sambungan telepon pun terputus. Mada mematikan ponselnya kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya.

"Siapa Da? Penting banget kayanya" tanya Sadana pada Mada. Terlebih saat Mada bertelepon dengan orang diseberang sana raut wajah Mada terlihat sangat serius.

"Ayah" jawab Mada kelewat singkat.

Sadana mengerutkan dahinya dalam-dalam, agak bingung sebenarnya karena Mada menjawabnya sesingkat itu. Sepertinya ada yang tidak beres dengan Mada. "Kenapa sih Da? Cerita aja" ujar Sadana.

Mada memasukkan dua bukunya ke dalam tas selempangnya, sebuah kalkulator dan juga beberapa pulpen yang semula berserakan di atas meja. Mada menarik resleting tasnya sampai ujung kemudian menyampirkannya di salah satu bahunya. "Gue cerita nanti. Ini gue lagi buru-buru" ujar Mada.

Sadana menganggukkan kepalanya mengerti, "Ya udah. Hati-hati, Da"

Mada menganggukkan kepalanya pelan, lantas segera beranjak dari posisinya meninggalkan Sadana. Sadana yang menggaruk kepalanya kebingungan melihat tingkah Mada yang kelewat berbeda. Dia terlalu serius tadi. Yah, meskipun sebetulnya tidak mengejutkan bagi Sadana yang  pernah beberapa kali melihat wajah serius Mada seperti tadi. Dalam hal itu Sadana selalu tahu akar permasalahannya, tapi khusus untuk yang satu ini Sadana benar-benar tidak tahu. Yang jelas salah satu alasan yang bisa membuat Mada bisa memasang wajah seriusnya sampai sebegitunya adalah karena suatu masalah yang besar. Dan Sadana agak takut dengan alasan yang membuat Mada sampai seserius itu. Apa mungkin ada masalah besar di keluarga Mada? Apalagi tadi Mada dihubungi oleh Ayahnya.

Sadana menghela napasnya panjang saat dirasa dia terlalu banyak berasumsi. Lagipula tidak ada gunanya juga Sadana banyak berasumsi seperti ini, toh nanti juga Mada akan bercerita padanya. Sekarang lebih baik dia segera pulang dan beristirahat di rumah. Sadana rindu kasur empuk di kamarnya.

Sadana pun beranjak dari posisinya, dengan santai berjalan keluar dari kelasnya, menyusuri lorong FEB sebelum dia memasuki area parkiran FEB. Sadana terlihat sibuk memakai helmnya, baru setelah itu dia naik ke atas motor matic-nya dan melajukannya dengan kecepatan sedang.

Sedang fokus menyetir, tiba-tiba saja  Sadana melihat seorang perempuan berambut panjang yang cukup dikenalnya berdiri di halte fakultas kedokteran bersama seorang pria berwajah oriental yang cukup dikenali oleh Sadana. "Nadia sama Asraf? Mereka ngapain?" Tanya Sadana dengan raut wajah bingungnya, meskipun pada akhirnya Sadana memilih untuk terus melajukan kendaraannya seolah pemandangan tadi bukan sesuatu yang mengusik dirinya.

Tepat saat Sadana akan melewati halte itu, Asraf sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil mewah yang baru saja keluar dari gerbang Fakultas Kedokteran (FK) sebelum mobil itu melaju meninggalkan Nadia sendirian di halte tersebut, membuat Sadana tidak kuasa menahan hasratnya untuk menghampiri Nadia. Sadana pun segera menepikan motornya tepat di depan halte tersebut, "Nadia"

[1] ANKARHADA (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang