*
*
*Pagi yg cerah untuk memulai kehidupan, yah memulai aktivitas seperti biasanya.
Sekolah atau bekerja.
Namun bagi Jimin hari ini adalah hari yang luar biasa.
Hey ini adalah hari dimana ia bebas, yah mungkin? Sebab tak ada alasan jika sang papa tak mengawasi nya.
Tapi yang pasti hari ini Jimin benar-benar bahagia. Pagi-pagi ia bangun, menatap wajah kusam nya di cermin. Tersenyum dan berlalu mandi, memakai seragam untuk pertama kalinya, lalu turun kebawah dengan bernyanyi santai.
Bibi Ahn yang kala itu sudah stay di dapur tersenyum tulus menatap Jimin. Anak yang ia rawat dari bayi, sosok yang ceria namun kebahagiaan dan keceriaan nya di renggut paksa oleh keadaan.
''Kau tampak senang sekali hmm"
Bibi Ahn menawarkan segelas susu dan sepotong roti dengan tersenyum, tangan nya yang mulai berkeriput mengelus surai hitam Jimin sayang. Surai yang baru saja berubah warna dari pirang kembali lagi ke hitam.
'' Bibi tahu, aku saaaaangat bahagia. Aku bahkan mencari di google cara mendapat kan teman." Jimin tersenyum manis dan diakhiri kekehan pelan dari candaannya.
Tapi bibi Ahn tahu, senyum itu tak setulus dan tak seindah hati Jimin kali ini. Ia tahu Jimin begitu bahagia saat ia akhirnya bisa sekolah normal, bersosialisasi seperti mimpinya. Mimpi kecil pangeran malang yang terkurung dalam kastil nya.
Namun di setiap kebahagiaan yang di dapatkan nya Jimin harus mengorbankan satu kebahagiaan nya. Di balik senyum nya ada luka menganga yang entah dengan apa obat nya.
Bahkan Jimin masih bisa tersenyum kala fakta telak menampar relung hati nya. Jimin masih bisa tertawa kala semalam kembali hati nya di lukai sang Papa. Meski dimata Seokjin apa yang ia lakukan sudah benar,tapi tetap saja sikapnya kerap kali melukai Jimin secara tak sengaja.
Contohnya semalam,ketika ia berkunjung. Jimin bahagia kala mendengar ayahnya datang berkunjung. Berpikir jika sang ayah akan kembali seperti dulu, hidup bersama dan membesarkannya.
Tapi senyum yang Jimin rakit dari kamar harus hancur saat di tangga terakhir menuju ruang tamu.
Hati bahagia yang bertaburan bunga berubah menjadi hujaman anak panah bagi Jimin. Senyum nya terganti tetesan air mata, kali ini Jimin benar-benar di campakkan.
Kata-kata sang Papa yang mengundang amarah Hoseok, sang paman yang selalu ada untuknya. Dengan tangis tanpa isakan untuk yg kesekian kalinya Jimin berjalan mundur. Kembali ke kamar dan menangis dalam diam, bertanya pada Tuhan salahkah dia lahir ke dunia?
''Bi" Jimin memegang lengan berbalut kain itu pelan.
''A benarkah" bibi Ahn tersenyum, senyum nya menahan tangis di pelupuk mata, menutupi rasa terkejutnya.
Tangan lembut itu membentuk kepalan, menahan emosional yang melesak keluar. Ini hari bahagia bagi Jimin, tak boleh ia kacau dengan acara menangis nya.
'' Bibi yakin, sangat yakin Jimin akan mendapatkan banyak teman yang baik__"
'__dan kebahagiaan' lanjut wanita itu dalam hati.
Untuk seterusnya ia akan membuat senyum tulus Jimin kembali, itu adalah janji seorang wanita yang mengasuh anak yg bukan darah dagingnya dengan tulus. Wanita yang tak memiliki anak namun Tuhan menitipkan malaikat untuknya, Ahn Ji Hun merasa menjadi orang paling beruntung karena bisa membesarkan seorang malaikat.
''Cah mari bibi lihat apakah penampilan dari pangeran ku ini sudah rapi eoh."
Masih dengan senyum, tangan itu lihai merapikan seragam Jimin. Membenarkan letak dasi dan cardigan yang membalut tubuh kurus itu. Anak itu tampak gagah dengan seragam pertamanya, seragam impian Jimin. Seragam yang selama ini hanya ia lihat di pakai oleh anak anak dalam majalah yang selalu ia baca.
*
*
*Taehyung tengah lari pagi di sekitar mansion, menikmati angin pagi kota Seoul yg menyejukkan. Kedua telinganya tersumpal Handset dengan lagu Destiny yang terputar indah. Lagu kesukaan nya yang menggambar kan kehidupan pemuda itu secara garis besar.
''Kakak!"
Lari pagi nya harus terhenti kala teriakan bak petir sang adik menggelegar. Ia lepas kedua benda yang menyumpal telinga nya. Berjalan naik masuk kedalam rumah nya dengan perlahan sembari mengatur nafas.
Di ruang tamu ia lihat Jungkook yang berdiri kelimpungan, pemuda itu baru saja bangun dari tidur panjangnya.
''Kenapa harus berteriak, "
Taehyung banting tubuh tinggi nya ke sofa empuk, memejamkan mata nya sebelum suara Jungkook kembali mengudara.
''Kemapa kau tak membangunkan ku?" Nada Jungkook berubah sedih.
Mata nya berkaca-kaca, mungkin hitungan detik bayi mungil Taehyung itu akan menangis.
'' Tidak ku bangunkan? Seharusnya kau sadar diri siapa yang tak bisa dibangun kan." Jawab Taehyung jengkel.
Sesaat maka mendengar nada lirih Jungkook Taehyung menoleh, melihat sang adik yang sudah memulai start untuk menangis.
''Hiks kau jahat."
Dan yah, Taehyung menghela nafas panjang sekaligus kesal.
'' Yak kau kenapa sih, apa hobi baru mu menangis? Ayolah kook usia mu itu bukan 5 tahun tapi 17 tahun." Jengah dengan tangis Jungkook yang lebih terdengar seperti lawakan.
''Yak! Aku menangis juga karena kau Hyung hiks, kau kejam sekali tidak membangunkan ku hiks. Semalaman kau sudah berjanji akan membangun kan ku. Tapi sekarang apa hiks, aku melewatkan live konser nya IU hiks. Huaa Mama aku ingin mati saja rasanya."
Taehyung mengurut pelipis sebal, sangat kesal. Ia melangkah menjauh dari ruang tamu menuju dapur, meninggalkan Jungkook yang masih menangisi nasib malang nya yang tak bisa menonton konser live sang idol.
Sudah tahu tabiat Jungkook, karena Jungkook bukan pemuda cengeng atau pengecut. Hanya saja jika itu menyangkut IU maka ia akan super duper rempong tingkat ibu-ibu kontrakan.
'' BERHENTILAH MENANGIS DASAR CENGENG."
''YAK! AKU TIDAK CENGENG"
''TAPI PENANGIS HAHAHAHA"
''DASAR KAKAK IBLIS"
''KAU ADIK SETAN"
''YAK!"
' Tak semua orang mengerti dasar nya rasa, karena jika iya maka tak akan ada lagi orang yang tersakiti di dunia ini'
~H.Y~***
Gj banget yah 🙁 ?Maap ✌🏻
Hye comeback
Semoga suka
Kalau suka boleh vote dan komen biar Hye makin semangat nulis.Serius Hye suka baca komen kalian, semacam pendukung gitu buat Hye nulis lagi.
So- se you next chapter 😹
Pay pay 👋🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Separate
Fantasy[ follow sebelum baca] Brothership✓ VMIN✓ Sebuah dinding besar telah terbangun di kehidupannya sejak awal. Bukan tanpa dasar, keberadaannya yang diragukan menimbulkan sebuah keretakan. Tidak ada keharmonisan dalam kisahnya, ia hanya remaja penyakit...