[ follow sebelum baca]
Brothership✓
VMIN✓
Sebuah dinding besar telah terbangun di kehidupannya sejak awal. Bukan tanpa dasar, keberadaannya yang diragukan menimbulkan sebuah keretakan.
Tidak ada keharmonisan dalam kisahnya, ia hanya remaja penyakit...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~o0o~
Ji-hoo duduk termenung di kursi samping brangkar UKS. Menanti Jimin yang masih setia tidur, ia bahkan sudah menguap beberapa kali. Mungkin sudah 3 pertemuan yang ia lewati, namun masih enggan meninggalkan Jimin sendirian.
Ia merasa bersalah karena telah membuat Jimin seperti ini, selain itu ia juga merasa tak enak karena tak sempat mengatakan terimakasih.
Beberapa menit yang lalu Ji-hoo telah menelpon paman Jimin, meminta agar wali dari orang yang menyelamatkan nya itu datang. Sedikit lancang karena ia meminta nomer wali Jimin ke pada guru BK. Tapi ini juga demi kebaikan Jimin, meski dokter UKS mengatakan jika Jimin tak apa-apa.
Brak
Sedikit tersentak, Ji-hoo lansung berdiri dan membungkuk hormat.
'' Apa yang terjadi padanya?" Tanya Hoseok menatap Ji-hoo khawatir.
Sungguh tadi pagi Jimin baik-baik saja, ia sendiri mengantarkan bocah itu meski hanya sampai gerbang.
''Ah saya hanya melihat Jimin pingsan paman, untuk jelas nya saya kurang tahu." Balas Ji-hoo sopan, ia sengaja tak memberitahukan semua nya, bisa jadi Jimin nanti berniat menyembunyikan nya.
''Ah kalau begitu saya pamit kembali ke kelas dulu Paman." Sekali lagi Ji-hoo menunduk hormat dan berjalan pergi meninggalkan UKS.
Hoseok mengambil langkah mendekat, menarik kursi besi itu dan duduk.
''Hey jagoan, bagaimana bisa belum cukup sehari bebas dari pengawasan kau sudah terbaring seperti ini hmm." Tangan putih berurat itu mengelus rambut lembut Jimin yang dulu sering ia warnai.
''Kau tahu berapa banyak usaha yang Paman lakukan untuk meyakinkan Papa mu. Ia begitu keras kepala sama seperti mu, tapi paman tahu Papa mu hanya belum mengerti keadaan. Suatu saat ia akan kembali nak, ia akan menjadi apa yang kau inginkan. Hingga saat itu Jimin harus tetap bertahan eoh, Jimin harus tetap kuat hingga saat itu."
Senyum tulus terukir di wajah tampan Hoseok, tangan tegas nya tak henti mengusap rambut Jimin yang benar-benar halus.
''Eughh"
Elusan tangan nya bahkan tak berhenti saat lenguhan Jimin terdengar, kedua mata rembulan itu perlahan terbuka dengan imut, persis seperti bayi bangun tidur.
''Sudah bangun jagoan." Jimin sedikit tersentak mendengar suara sang Paman. Elusan lembut itu membuat nya kembali mengantuk, sebelum suara ceria sang paman membuat nya tersenyum.
''Paman disini?" Suara Jimin cenderung masih serak, ia bertanya dengan senyum manis.
''Bagaimana bisa lansung drop hmm? Bahkan belum cukup 12 jam kita berpisah, apa Jimin sebegitu tak bisa berpisah dari Paman eoh?" Hoseok berujar sembari tertawa.
''Ishh mana ada seperti itu, aku hanya lupa meminum obat tadi pagi paman." Balas Jimin memberengut lebih ke merengek yang membuat pemuda 37 tahun itu gemas .
''Benarkah?" Hoseok masih senantiasa menggoda sang keponakan, menurutnya Jimin yang merajuk itu sangat lucu.
''Tentu saja eoh" Jimin berujar dengan yakin, kedua tangan nya mengepal mempertegas jika yang dikatakan sang paman salah.
''Oke okeh paman percaya eoh," mata rembulan Jimin semakin kentara kala si empu tersenyum menang.
''Ingin kemana?" Hoseok menatap Jimin bingung, keponakan nya itu bangun dengan tiba-tiba
''Tentu saja masuk ke kelas paman." Balas Jimin polos, demi Tuhan Hoseok ingin memakan kedua pipi gembul keponakan nya itu. Benar-benar menggemaskan untuk ukuran anak 17 tahun.
''Astaga paman bisa diabetes jika begini." Hoseok mengusap wajah nya kasar.
Sungguh ia benar-benar gemas dengan dua pipi gembul Jimin. Pipi yang dulu sering jadi mainan nya ketika Jimin masih kecil.
'' Paman lupa membawa obat ya?" Astaga! Dengan wajah polos nan menggemaskan Jimin bertanya sembari mempout bibir nya lucu.
Hoseok memang memiliki riwayat diabetes karena hobinya minum teh dan makan makanan serba manis berlebihan. Tapi kali ini berbeda, benda manis di depan nya ini bahkan lebih manis dari 1 ton gula.
''Jiminie ayo kita pulang nak, paman pikir paman butuh obat jantung." Hoseok mengemasi tas Jimin yang tadi di bawakan Ji-Hoon.
Si empu tertawa kecil mendengar ucapan sang paman, bagaimana bisa diabetes berhubungan dengan jantung, lucu !
''Bisakah kita tidak pulang paman?" Tawa Jimin berhenti, tatapan penuh harap ia layangkan.
Hoseok yg tengah memeriksa kelengkapan buku sang keponakan ikut berhenti. Menatap namja gembul itu dengan tanda tanya.
''Terjadi sesuatu?"
'' Hanya ingin melihat dunia luar."
Jimin menggeleng pelan, beralih menatap keluar jendela. Menatap anak-anak yang tengah olahraga, ada yang tengah bermain bola atau bahkan hanya berlarian.
Senyum iri terukir di wajah rembulan itu, Hoseok melihat semua. Namun apa boleh buat, kata penyemangat mungkin seperti ejekan bagi Jimin.
''Ingin ke mall?" Hoseok memberi saran, berharap atensi Jimin teralihkan.
'' Bagaimana dengan pantai? Apa Jimin boleh ke pantai Paman?" Jimin kembali menatap sang Paman penuh harap. Dan kali ini senyum kecewa yang ia ukir, senyum yang selalu muncul.
Hoseok hanya bisa menunduk, menyesal tak bisa memenuhi keinginan keponakan nya untuk satu hal ini.
'' Uncle Hussain baru saja kembali dari Afganistan, ingin berkunjung?"
Setidaknya Hoseok kembali lega kala senyum Jimin nya tak jadi redup. Binar bahagia tadi kembali mekar hanya karena hal sepele.
''Benarkah?" Nada suara Jimin kembali semangat.
Pemuda 17 tahun itu membayangkan bagaimana menyenangkan nya bermain dengan kalangan anak domba milik Hussain, sahabat Hoseok dari Afganistan.
''Eoh, Paman dengar Lily juga melahirkan 2 ekor anak domba lagi. Kau bisa kembali memberi nama kedua anak domba itu."
Hah kebahagiaan Jimin nya begitu mudah di dapat, dan ia juga tahu kesedihan tak pernah jauh dari Jimin. Akan tetapi setidaknya, Jimin nya tak berlarut dalam kesedihan semata.
'Bahagialah, teruslah tersenyum. Karena kebahagiaan mu adalah kunci hidup seseorang'