*
*
*Masih dihari yang sama di lain tempat, Jin menatap indahnya sungai Nakdong di pagi hari. Alunan dan kicauan burung masih terdengar merdu di kota ini. Ia hirup semilir angin pagi yang masih segar dan bersih.
Setelah bertengkar dengan Hoseok untuk yang kesekian kalinya, Jin memutuskan untuk pergi ke Busan. Kota besar tempat ia di besarkan, kota yang menjadi tanda bukti seberapa kuat ia untuk bertahan hidup kala di campakkan sang ayah ke ujung Korea itu.
Jin tak begitu menyanjung apalagi menurut pada sang ayah. Apa yang bisa ia harapkan dari orang tua itu, orang yang memperlakukan anak nya seperti pembantu bukannya anak. Kendati hanya sang ayah yang saat ini masih ia miliki, perasaan sakit masih membekas di hati nya.
Ia datang untuk menenangkan diri, agar ketika kembali ke Seoul tak ada lagi pertengkaran antara dia dengan Hoseok ataupun dengan Jimin.
Jin tak marah atau pun sedih karena memiliki Jimin, ia juga tak menganggap kehadiran Jimin adalah kutukan apalagi sebuah kesalahan.
Tapi sesaat ia terhasut oleh godaan yang terus mencoba membisikkan bahwa kehadiran Jimin lah yang membuat kehidupan nya rusak.
Jin kembali menghela nafas,udara yang cukup dingin membuat mulutnya mengeluarkan asap. Bibirnya ia tarik keatas tersenyum, melepas sejenak semua beban hidup sebelum nanti ia kembali lagi ke Seoul.
Ia melupakan semuanya, ia lupa jika hari ini Jimin akan sekolah bahkan ia lupa jika hari ini ada pertemuan besar antara dia dan keluarga calon istri 'barunya'. Tentu atas paksaan sang ayah Jin kembali diminta tuk menikah.
Terkadang ia bingung dari sekian banyak anak yang dimiliki sang ayah, kenapa hanya ia yang harus hidup seperti boneka sang ayah. Yang kehidupan dan massa depan nya ditata oleng sang ayah.
'' Ku harap hari esok akan lebih indah."
~o0o~
Sepanjang lorong Jimin hanya menunduk, mengepalkan kedua tangannya di dalam saku celana. Puluhan atau ratusan mata telah menjadikan nya pusat perhatian sejak masuk ke lingkungan sekolah tadi.
'Dia ternyata sangat tampan dari yang ku bayangkan.'
'Wuah aku tak menyangka Jimin akan masuk lebih cepat, '
'lihat, dia begitu tampan dengan rambut hitam ahhh aku sepertinya jatuh cinta'
Tak heran Jimin juga mendengar bisikan- bisikan para siswi yang ia lewati. Tatapan gadis-gadis berbedak tebal itu seakan mengintrogasi Jimin. Namun sesungguh nya para gadis itu menatap Jimin dengan tatapan memuja dan tergoda.Tak hanya para siswi, hampir seluruh siswa tertarik tuk melihat Jimin.
Seakan Jimin adalah suatu keajaiban dunia yang perlu mereka saksikan. Tapi sayang di balik semua perhatian itu, Jimin merasa risih. Ia terus menunduk tanpa ada niat bertanya dimana ruang kepala sekolah. Jangankan bertanya,mengangkat kepalanya tuk menatap mata para siswa maupun siswi yang ia lewati Jimin enggan.
Entah takut atau jengah di pandangi yang pada intinya Jimin ingin segera dapat menemukan ruang kepala sekolah.
Ahh ia seperti siswa yang baru saja pindah dari sekolah kecil ke sekolah mewah. Terlihat kuno dan tak tahu arah, padahal sudah dua tahun lebih ia menuntut ilmu disana.
''Lee Jimin ."
Jimin menoleh, sedikit terkejut ketika seseorang memanggil namanya. Tapi raut wajah nya kembali normal kala tahu yang memanggil adalah salah seorang guru, terlebih itu adalah guru yang selalu mengajar nya saat di kelas privat dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Separate
Fantasy[ follow sebelum baca] Brothership✓ VMIN✓ Sebuah dinding besar telah terbangun di kehidupannya sejak awal. Bukan tanpa dasar, keberadaannya yang diragukan menimbulkan sebuah keretakan. Tidak ada keharmonisan dalam kisahnya, ia hanya remaja penyakit...