Separate 26!

756 118 15
                                    

o0o

Masih dihari yang sama, namun sudah agak lebih siang. Ventilator di tenggorokan Jimin pun sudah berubah menjadi nasacanula. Pernafasan nya belum terlalu stabil, namun rasa tak nyaman membuat nya merengek pada sang paman.

''Paman,Jimin ingin pulang" lagi! Dan lagi.

Sedari ventilator terlepas, membuat ia bisa berbicara dengan leluasa dari sebelumnya. Jimin selalu merengek minta pulang, tentu saja Hoseok tak menuruti. Bukan apa-apa tapi kondisi keponakan keras kepalanya itu bahkan belum bisa dikatakan stabil.

''Jimin dengarkan paman kali ini ya, kondisi mu masih belum stabil. Dokter juga bilang kamu belum boleh pulang, jadi kita tinggal beberapa hari lagi ya. " Bujuk Hoseok dengan sabar, ia juga nampak sibuk dengan laptop di atas meja. Memeriksa beberapa berkas yang masuk dan sangat penting,sehingga ia harus mengerjakannya secepatnya.

''Paman" sekali lagi Jimin memanggil.

Hoseok tak menoleh karena sibuk dengan laptopnya,tapi ia tetap mendengarkan semua keluh kesah sang keponakan.

''Papa benar-benar tidak akan datang yah?" Tanyanya sedih, mungkin ia memang tak tinggal lagi dengan sang papa beberapa tahun terakhir. Tapi Seokjin tak pernah absen barang sejenak saja menengok dirinya. Apalagi kalau ia down dan sampai di rawat,maka tiada hari tanpa kunjungan sang Papa.

Tapi kali ini Seokjin tak datang, benar- benar tak datang. Sedari sadar Jimin sesekali selalu menengok ke pintu, menanti pintu itu terbuka dan sang papa muncul. Meski muncul dengan wajah datar atau apapun itu tak apa, yang penting sang papa datang hanya itu yang Jimin harapkan.

''Papa mu sedang dalam perjalanan bisnis, jika pulang pasti langsung menemui Jimin." Jawab Hoseok pelan, ia bahkan menghentikan kegiatannya. Menatap keponakannya itu dengan penuh kasih, terpampang jelas wajah kasihan dan kesal yang bercampur aduk.

Jimin hanya menunduk sembari meremas selimut nya. Bibir nya tertekuk kebawah, tidak ada air mata karena Jimin bukan anak cengeng. Ia adalah anak yang kuat, image kuat sudah menjadi darah daging bagi Jimin. Gelar itu disematkan oleh paman paman nya, bukan tanpa alasan. Jimin hidup hingga saat ini adalah bukti nyata kalau gelar kuat memang benar cocok dengan nya. Bertahan hidup hingga usia 17 tahun dalam kondisi jantung yang tak baik baik saja sejak lahir adalah hal luar biasa.

''Benarkah? " Ulang nya sedih.

Hoseok hanya mampu menghela nafas berat, ia memutuskan beranjak mendekati Jimin. Meninggalkan pekerjaan yang kata nya penting itu, karena baginya Jimin lebih penting.

''Jimin-ah, kau tau kan paman sangat menyayangi mu?" Ujar Hoseok lembut.

''Paman mau Jimin bahagia, paman ingin Jimin menjadi Jimin kecil paman dulu. Paman ingin Jimin tersenyum cerah lagi, katakan! Katakan nak, kemana paman harus membawa mu agar kau bahagia, apa yang  harus paman lakukan agar kau tersenyum lagi Jimin." Lanjut Hoseok bergetar,mata nya berkaca-kaca lelah. Ia ingin mengakhiri penderitaan ini dengan cepat,tapi bukan dengan kepergian Jimin!

''Mama, Jimin ingin ketempat mama." Balas anak itu pelan, mata nya tertutup perlahan dengan liquid bening di penghujung mata yang jatuh.

Deg

Hoseok terdiam, apa harus? Kenapa tidak! Ia berjanji akan melakukan apapun asalkan Jimin bisa bahagia.

Tapi! Masalah nya bagi Jimin sosok ibu sudah tiada, sudah di bahagia di surga.

''Jangan berbicara seperti itu nak, paman tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan paman jika kau pergi." Gumam Hoseok lemah.

Tak ada jawaban dari Jimin, karena ia tahu Jimin telah tidur.

''Dunia paman akan hancur jika kau pergi Jimin, kau adalah bulan dan matahari paman nak. Tanpa mu dunia paman akan gelap."

Flashback

Usia Jimin baru 3 tahun, fase dimana ia sedang lincah lincah nya.Berlari ke sana kemari dan berteriak, kadang balita itu juga terjatuh dan selalu berakhir menangis.

Hari itu ia ditinggal berdua saja dengan bibi Ahn. Papa yang bekerja ke luar negeri dan paman Hoseok yang harus ke kantor karena ada hal penting.

Di ruang tamu ia tengah bermain dengan puluhan mainan yg berserakan. Berbagai macam mobil-mobilan, robot-robotan dan mainan Lego.

''Mimik Imin au mimik, au inum susu." Jimin yang sedang anteng anteng nya bermain tiba-tiba menghampiri bibi Ahn yang duduk tidak terlalu jauh, tengah melipat baju baju si kecil.

''Jimin-ie yang tampan ini haus?" Tanya bibi Ahn dengan senyum.

''Hu'uh Imin aus." Ujar balita itu dengan bibir di pout dan kepala di anggukan.

Bibi Ahn tersenyum gemas, tiada satu hari pun tanpa merasa gemas jika melihat Jimin.

'' Baiklah, bibi akan ambilkan dot Jimin-ie. Tapi Jimin-ie gak boleh lari keluar yah." Peringat bibi Ahn.

Si kecil hanya mengangguk patuh ,meski tangan nya masih sibuk dengan mainan robot-robotan yang ia adu adu hingga menimbulkan bunyi.

''Yak! Imin adalah supel helo, Imin atan memusnahkan monstel." Teriak bocah tiga tahun itu .

Dari dapur bibi Ahn tersenyum mendengar teriakan itu, ia dengan telaten dan cepat membuat kan Jimin susu soya.

''Arhkkkkk atittt hiks aaaaa aki Imin atit." Teriakan keras dan tangis itu membuat bibi
Ahn terkejut.

Baru beberapa menit yg lalu ia mendengar teriakan ceria Jimin. Tapi sekarang yang ia dapati adalah bocah mungil itu tergeletak di dekat tangga dengan kening berdarah dan kaki kanan memar.

''JIMIN"

Bibi Ahn segera berlari mendekat, menggendong balita itu dengan telaten dan sekali-kali di ayun ayun.

''Chup chup Jimin-ie jangan menangis." Ujar nya berusaha menenangkan.

Dengan lihat ia mengambil dompet dan kunci rumah, segera berlari keluar rumah.

Tidak ada mobil atau bahkan taksi yang lewat, Jimin yang terus menangis menjadi pucat dengan wajah benar-benar merah.

''T-tolong tolong aku." Karena cemas ia segera menyetop mobil yang lewat dan segera pergi ke rumah sakit.

Di ruang UGD Jimin di obati, darah di kepala hanya luka kecil yang terbuka sehingga berdarah. Kaki kanan Jimin  memar, dokter berkata terkilir tapi akan di adakan pemerikasaan lanjut dengan dokter spesialis tulang.

Tapi permasalahannya bukan di situ, masalah besarnya adalah Jimin yang tak henti-hentinya menangis. Ia selalu memanggil sang papa, bibi Ahn sudah coba hubungi tapi handphone Seokjin tidak aktif. Langkah terakhir ia menghubungi Hoseok.

📞📞📞

''Ya, Hallo bi?"

''Jimin jatuh dari tangga, Hoseok-ah"

Satu kalimat itu, membuat Hoseok melupakan segala hal yang penting menurut nya, karena saat ini dunia nya sedang tidak baik-baik saja.





To be continued

See you next chapter everyone 👋🏻👋🏻

Separate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang