[ follow sebelum baca]
Brothership✓
VMIN✓
Sebuah dinding besar telah terbangun di kehidupannya sejak awal. Bukan tanpa dasar, keberadaannya yang diragukan menimbulkan sebuah keretakan.
Tidak ada keharmonisan dalam kisahnya, ia hanya remaja penyakit...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
* * *
Awan mendung menghiasi langit sore, hari ini peringatan kematian yang di gelar setiap tahunnya di lakukan kembali kala mengenang sosok mantan ibu negara Korea Selatan itu telah usai. Penghormatan yang di laksanakan di rumah duka bukannya di gereja atau di makam karena cuaca yang kurang mendukung.
Para tamu telah berkumpul di ruang hibur, menikmati makanan dan minuman yang telah dihidangkan.
Di ruang penghormatan Jin berserta adik adik nya berdiri di sudut ruangan. Tentu minus Yoon Gi yang telah mengatakan ia tak akan hadir jika sang ayah masih berada disana.
Jin tampak tersenyum sembari membungkuk hormat kala para tamu masuk untuk memberi penghormatan kembali pada ibunya.
'' Kak aku harus pergi" Hoseok berbicara berbisik pada Jin yang masih setia dengan senyum nya.
''Bagaimana kau bisa pergi Seok, acara ini belum selesai. Ayah akan marah besar jika kau pergi " Jin membalas dengan berbisik.
Tak ingin merusak suasana tenang di ruang penghormatan.
'' Kau lupa Kak, Jimin pergi ke makam ibu nya dan kau lihat. Cuaca mendung , sebentar lagi akan ada badai. " Hoseok kembali berbisik, namun nada nya kesal.
Sebenarnya Jimin anak siapa eoh?
'' Terserah kau saja." Jin memilih berlalu meninggalkan Hoseok yang mematung dan mengukir senyum sinis.
'' Sekarang dia juga tak pantas menjadi ayah."
~o0o~
Kala pemuda bersurai legam itu di bicarakan di lain tempat, sosok itu tengah terduduk. Mengelus nisan sang ibu layak nya mengelus rambut halus malaikat yang telah melahirkan nya.
Ia baru saja datang sebab tadi begitu lama di kedai bunga, sekedar mencari Bunga terbaik untuk sang ibu.
'' Ma, Jimin datang lagi dan maaf Jimin kembali datang sendirian ." Tangan mungil itu senantiasa mengelus nisan bertuliskan Park Na Ra itu.
Dengan senyum Jimin mengelus nisan itu selembut mungkin.
'' Mama tahu tidak paman Namjon bilang Jimin akan segera mendapatkan donor jantung, tapi Jimin ingin bertemu Mama." Meski tersenyum namun wajah sendu nya tak bisa ia tutupi.
'' Oh iya ma, Mama tahu. Tahun ini adalah tahun terakhir Jimin menerima surat dari Mama." Tangan lembut itu kembali bergerak mengelus nisan sang ibu. Tersenyum manis dibalik kata sendu yang terlontar dari labium merah muda nya.
''Bibi bilang itu surat terakhir mu, tapi Jimin belum sempat membacanya, maaf"
Ia menunduk menatap rerumputan kecil yang menutupi makam sang ibu. Sesekali memotong daunnya agar tumbuh sama rata dengan rumput lain.