PLAK
Satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Fadil.
Nia pelakunya.
Edo yang sedari tadi duduk diam seketika langsung berdiri melihat perlakuan Nia yang begitu tiba-tiba. Sementara Fadil hanya diam tanpa berkata apapun.
"Lo apa-apaan sih?" tanya Edo agak sedikit emosi.
"Kenapa lo bilang? Harusnya temen lo ini yang kenapa?!" balas Nia tak kalah emosi. Fadil memicingkan mata. Berusaha mencari tau dimana letak kesalahannya dari tatapan tajam Nia.
"Kalau lo bilang bakalan ada yang nyelakain Nino, semua nggak akan kaya gini!" tuding Nia. Tangan kecilnya berusaha menggapai Fadil untuk kembali memukulnya. Namun terhalang oleh Edo yang kini berada di antara mereka.
"Maksud lo apa?"
Nia berhenti memberontak. Matanya yang sudah basah melirik sinis kearah Fadil.
"Lo bisa halangin Nino buat balapan malam itu karena bakal ada kerusuhan. Tapi kenapa hari ini nggak? Kenapa lo biarin dia dicelakain orang?"
Fadil mengangguk paham setelah mendengar pernyataan Nia. Namun ia masih bungkam, belum ingin menyanggah.
"Segitu nggak pedulinya lo sama Nino?"
"Menurut lo.." Fadil menjeda kalimatnya.
"...sehebat apa sampai gue bisa lihat masa depan?" Fadil terkekeh.
"Ini yang nggak gue suka dari orang kebanyakan. Menilai orang tanpa tahu kebenarannya. "
"Bacot lo, dil! Udah ada bukti waktu lo cegah Nino balapan. Lo mau ngelak apa lagi?!" bentak Nia yang masih diselimuti emosi.
"Terserah." Fadil menghembuskan nafasnya kasar.
"...Jadi dipikiran lo sekarang mungkin gini, kalau ada orang terdekat lo meninggal lo bakal nyalahin gue, kalau lo jatuh lo nyalahin gue, paling sederhana kalau Nino kehujanan terus sakit lo bakalan nggak terima dan nyalahin gue."
Nia terdiam. Masih ada emosi dalam dirinya namun otaknya juga ikut berfikir, mencerna dengan baik perkataan Fadil.
"Seandainya gue sehebat itu, seumur hidup gue pasti bakalan beruntung. Bisa menghindari banyak hal buruk yang akan terjadi di hidup gue." Fadil kembali terkekeh.
"Nyatanya, banyak hal buruk yang justru gue hadepin."
Fadil menatap Nia lekat, sorot gadis itu sudah berubah. Tidak setajam tadi.
"Nia, gue tau lo panik. Mungkin gue harus pamit dulu biar lo bisa tenang."
Selesai mengucapkan itu Fadil menepuk pundak Nia lalu berlalu begitu saja.
"Apa gue belum cerita?"
Nia menoleh saat Edo bertanya padanya. Nia menggeleng tidak paham.
"Fadil tau soal kerusuhan balapan itu dari nggak sengaja denger rencana kakak kelas yang mau celakain Nino. Jadi bukan dari ngeramal," jelas Edo sambil menggaruk tengkuknya. merasa tidak enak karena menyampaikan sesuatu setelah kesalah pahaman sudah terjadi.
"Dan..bukan lo aja yang panik tadi. Kita agak lama dateng soalnya kita tadi sempet nabrak. Nih sepatu gue ilang satu." Edo memperlihatkan kaki sebelahnya yang tanpa alas.
Penjelasan dari Edo cukup membuat penyesalan Nia semakin bertambah. Apalagi setelah tau mereka hampir kecelakaan karena ingin segera menolong Nino.
"Kalian ngapain?"
Edo dan Nia serempak membalikkan tubuhnya begitu mendengan Nino menyapa mereka.
"Lho kamu nggak apa-apa?" Nia beringsut menghampiri Nino dan memapahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FADIL
Teen FictionFadil itu pintar tapi standar menurut Papanya. Mereka sudah seperti anjing dan kucing pokoknya. Tidak ada yang pernah mau mengalah. Tapi Papanya cukup menyenangkan. Mama Fadil itu tegas sekali, kadang Fadil sampai canggung dengan Mamanya sendiri. Me...