6. Bocah Ngelantur

3.5K 333 11
                                    

Kepanikan sempat terjadi beberapa saat setelah Fadil akhirnya dibawa kembali ke rumah Edo. Nino dan Nia sampai kelimpungan karena tiba-tiba Fadil muntah, padahal kondisinya masih pingsan. Nino yang terbiasa menghadapi Ayahnya muntah-muntah saat mabuk pun sigap memiringkan tubuh Fadil agar tidak tersedak.

"Bokap gue pernah keselek waktu muntah sambil terlentang," jelas Nino begitu melihat pandangan bertanya dari Edo dan Nia.

Sialnya, orang tua Edo sedang tidak ada. 3 remaja itu memberi pertolongan seadanya. Edo mengambil kotak P3K. Mengoleskan minyak kayu putih di beberapa bagian tubuh Fadil.

"Ini nggak dibawa ke Rumah Sakit aja?" tanya Nia, perempuan satu-satunya yang kelihatan paling panik.

"Tunggu 30 menit, kalau masih kaya gini juga kita telfon Ambulans," otak cerdas Edo bekerja. Ia yang berteman dengan Fadil sudah sering melihat Fadil muntah karena masalah pada lambung Fadil yang memang rewel sejak dulu. Tapi biasanya tidak pingsan seperti ini.

"Nia, minta tolong ambil air hangat dong sama handuk kecil di lemari depan kamar mandi deket dapur," pinta Edo. Nino sesekali menepuk pipi Fadil, berharap remaja kurus itu segera sadar dan berhenti menguras isi perutnya.

Edo yang mulai reda rasa paniknya bergegas menyusul Nia untuk mengambil kain dan baskom antisipasi apabila Fadil muntah lagi.

"Do, ini bawain ke depan. Gue coba buat bubur sama teh anget. Temen lo kayanya belum makan sama sekali deh," ucap Nia sembari memberikan baskom berisi air hangat dan handuk kecil yang sudah ia siapkan.

"Iya, dia emang sering lupa makan. Thanks ya, gue ke depan dulu."

Gadis berambut pendek itu tersenyum.

Begitu sampai depan, Edo melihat Fadil yang agaknya sudah mulai sadar dari pingsannya. Sesekali ia melihat sahabatnya itu meringis sambil meremat bagian dadanya.

"Kenapa? Apa yang lo rasain?" tanyanya bertubi.

Fadil yang belum mampu menjawab hanya menggelengkan kepalanya.

Nino menepuk-nepuk kaki Fadil, kemudian meraih handuk kecil beserta sebaskom air hangat.

"Badan lo dingin banget," ujar Nino. Badan Fadil memang terasa dingin, terutama telapak tangan dan kaki. Perlahan Nino membersihkan beberapa noda bekas muntahan dan mencoba menghangatkan beberapa bagian tubuh Fadil. Manusia yang hidup dengan suhu tubuh dingin di malam yang lumayan panas itu menakutkan.

"Dil, udah sadar? Ini minum teh angetnya dulu, biar enakan perutnya." Nia yang baru datang segera mengangsurkan teh hangat yang dibuatnya. Diterima Edo yang tak lupa memberikan ucapan terimakasih.

Nino bersiap membantu Fadil untuk mendudukkan tubuhnya yang masih lemas. Lagi tangan itu meremas dadanya.

"Kok sesek ya?" tanyanya masih dengan suara serak. Mengundang tatapan khawatir ketiga remaja lainnya.

"Minum dulu coba, siapa tau habis ini enakan," Edo mengangsurkan teh yang dipegangnya. Diterima Fadil dengan tangannya yang masih bergetar, mau tak mau Edo membantu memegangi agar tidak jatuh dan tumpah.

Nia yang baru selesai membersihkan bekas muntahan Fadil di lantai bergerak kembali ke dapur untuk mengambil bubur yang dibuatnya. Ia tidak jijik sama sekali. Badung-badung begitu ia bercita-cita menjadi Dokter. Melihat hal semacam itu memacu adrenalinnya untuk bergerak dan membantu.

"Enakan?" tanya Edo begitu Fadil mendorong segelas teh yang hanya diteguk sedikit.

Diam sejenak, Fadil mencoba menarik nafasnya. "Lumayan."

Hembusan napas lega langsung terdengar dari Nino juga Edo.

"Kok bisa tiba-tiba pingsan sih, Nyet?" tanya Edo mulai memanggil Fadil dengan panggilan monyet kesayangannya.

FADILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang