18. Sebentar Lagi

1.9K 256 35
                                    

Jangan percaya dia, Fadil.

Bisikan seperti itu sering kali Fadil dengar. Ntah 'dia' siapa yang suara itu maksud. Yang jelas suara itu akan muncul hanya ketika ia sedang dalam kondisi tertekan atas sikap mamanya.

Fadil juga tidak bisa mengenali secara jelas suara siapa itu, karena suara tersebut menyerupai bisikan yang mendesis seperti angin. Tapi Fadil yakin itu adalah suara laki-laki.

"Dil.."

"Fadil."

"Astagfirullahaladzim." Fadil mengusap wajahnya begitu tepukan Edo menyadarkan lamunannya.

Dia baru sadar, hpnya masih ia pegang. Untung saja sudah dalam mode padam. Jika tidak, Edo pasti sudah membaca pesan yang dikirim mamanya barusan.

"Lo kenapa sih?" tanya Edo sembari bangkit berdiri mengikuti pergerakan Fadil.

Fadil tidak langsung menjawab. Setelah duduk di atas tempat tidur, ia segera mematikan ponselnya.

"Nggak apa-apa," ujarnya.

"Dih kaya cewek aja lo. Aturan orang habis mandi itu mukanya seger, lah lo malah makin kusut aja." 

Melempar bantal. Edo mengikuti apa yang dilakukan Fadil, duduk di pinggiran tempat tidur.

"Dil.." panggil Edo setelah beberapa saat berhasil mengamati.

"Menghormati boleh, tapi bego jangan."

Fadil menoleh kemudian. Dia mengerti maksud Edo. Termasuk teguran papanya. Tapi ntah kenapa, ingin memberontak pada mamanya rasanya sangat sulit. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangannya.

Ketika dia tidak membantu dan mamanya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, ia khawatir kakeknya akan menghukum mamanya seperti dulu. Kemudian, Fadil jarang sekali memiliki waktu bersama dengan mamanya. Jadi ketika hanya bantuan seperti ini yang bisa dia lakukan, kenapa tidak?

"Gue tau lo takut nyokap lo diapa-apain sama kakek lo yang kata lo jahat. Tapi coba lo pikir.." Edo merubah posisinya menghadap Fadil. "Nyokap lo yang memutuskan buat cerai sama bokap lo karena lebih mentingin hartanya. Jadi anggap aja yang sedang dan akan terjadi sama nyokap lo itu adalah konsekuensi. Lo nggak perlu merasa bersalah atas sesuatu yang nggak lo perbuat. Justru, lo dijadikan alat sama nyokap lo sendiri."

Fadil ingat yang satu itu. Dia baru tau dari mamanya saat mamanya terbawa emosi dan mengatakan bahwa bukan kakeknya yang menyuruh mamanya bercerai, melainkan karena harta kakeknya dan ketidak sanggupannya untuk hidup seadanya dengan Ridwan yang kala itu belum sesukses sekarang.

Fadil hanya diam. Tapi Edo yakin anak itu sedang mendengarkannya. "Atau gue misalin, lo itu samsak, mama lo petinju, kakek lo pelatih. Kakek lo berbuat seperti itu karena dia melatih keseriusan kerja mama lo. Dia mungkin tau mama lo nggak akan pernah mau belajar dan berusaha sendiri buat mencapai ambisinya yang juga ditargetkan kakek lo. Disisi lain, mama lo nggak akan pernah takut karena dia punya samsak yang siap buat dipukul tanpa ada perlawanan."

Fadil masih diam.

"Semakin keras nyokap lo mukul lo. Semakin bangga kakek lo. Seorang petinju dan pelatih tidak akan memperdulikan samsak yang mereka pakai. Kalau rusak? Ya udah ambil yang lain. Toh target kekuatan mereka udah tercapai."

Fadil mengusap wajahnya kasar. "Lo bener sih, Do. Tapi bukannya gue nggak bisa ngelawan, tapi ntah kenapa gue selalu nggak bisa nolak permintaan mama gue."

"Rasanya berat aja buat nolak," sanggah Fadil.

Edo menepuk pundak sahabatnya yang terlihat lesu. "Lo boleh bantu nyokap lo kalau hal itu wajar. Tapi kalau lo sampai ngorbanin diri lo dan bikin lo tiap pulang dari sana selalu sakit atau luka. Mending lo pikir lagi."

FADILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang