Edo masih setia mengekor Fadil yang saat ini tengah makan di jam istirahat ke 2. Selain masih khawatir sahabat ringkihnya itu pingsan lagi, juga karena penasaran sosok monster yang Fadil sebut di UKS tadi. Lumayan kan kalau ada info seperti ini, Edo bisa jadi lambe turah keesokan harinya. Jangan lupa mulut Edo yang seperti petasan, berita apapun akan booming jika keluar dari mulutnya.
"Nyet," panggilnya pada Fadil yang tengah serius memakan santapan siangnya.
"Hm," sahut Fadil acuh. Fadil paling tidak suka acara makannya diganggu. Dia paling susah makan, jika sudah diganggu dia akan malas dan berakhir menyisakan makanan.
"Anu.. itu lho.."
"Makan dulu, jangan ganggu gue."
Edo langsung mingkem. Tapi karena tadi ia juga memesan makanan akhirnya dia mangap lagi. Sesekali melihat cara makan Fadil yang begitu pelan seperti orang yang malas hidup. Ingin rasanya merebut sendok Fadil, mengajarinya menyendok dengan agak cepat, mengunyah dengan benar dan tidak terlalu banyak minum. Satu sendok makan, Fadil bisa minum beberapa kali teguk. Mungkin itu yang menyebabkannya gampang kenyang dan makanannya tidak pernah habis.
Tiba-tiba terlintas ide cemerlang di kepala Edo.
"Nyet, lomba makan yuk? Ntar yang habis duluan ditraktir sama yang kalah makan di kantin selama 1 minggu, gimana?" tawarnya dengan nada super antusias.
"Nggak minat."
Edo merengut. Namun tak menghentikannya untuk kembali memutar otak. Ia harus memikirkan imbalan yang lain agar sahabatnya itu menyanggupi. Dengan begitu kan setidaknya Fadil segera menghabiskan makananya sampai tuntas. Nggak klemar klemer lagi.
"Apapun imbalanya gue nggak akan mau," tukas Fadil.
Edo yang masih serius berfikir menatap Fadil heran.
"Gue kan nggak ngomong kalau gue lagi nyari cara lain. Eh.. ngomong nggak sih gue tadi?"
"Dasar pikun. Lo tadi ngomong, dodol. Makanya makan tuh makan aja."
"Gue tadi beneran ngomong ya?" Edo masih bingung.
Fadil tak menggubris lagi, ia lebih memilih benar-benar menghabiskan makanannya sebelum menghadapi monster yang sesungguhnya.
"Dil monyet, emang iya gue ngomong?"
Fadil hanya menanggapi dengan menggedikkan kedua bahunya. Diam-diam Fadil tersenyum. Edo, teman-teman dan keluarganya belum benar-benar tau apa yang disembunyikan Fadil.
--
Mobil putih yang Fadil tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dari dalam mobil sudah terlihat Mama Gina yang tengah melambaikan tangannya. Wanita itu terlihat cantik dan anggun.
Fadil berjalan sedikit perlahan. Tadi saat nyungsep lututnya terluka agak lebar dan seluruh tubuhnya masih ngilu. Saat membuka pintu mobil milik mamanya, Gina langsung panik dan bertanya macam-macam.
"Itu dagu kamu kenapa? Terus jalannya kok gitu?" berondongnya dengan dua pertanyaan sekaligus. Luka di telapak tangan Fadil juga tak luput dari penglihatannya.
"Nggak apa-apa, Ma. Tadi pas olahraga jatuh," jawab Fadil sembari mengenakan sabuk pengamannya. Agak kesulitan sebab Gina masih memegang beberapa bagian tubuhnya, seperti lengan, kaki dan kepalanya.
"Tapi nggak apa-apa kan? Nanti masih bisa bantu mama kerja? Aduh kerjaan mama lagi banyak banget, kamu malah nggak hati-hati."
Hati Fadil mencelos. Agak kecewa sebenarnya karena mamanya mengkhawatirkannya karena masalah pekerjaan. Bukan khawatir karena kondisi tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FADIL
Teen FictionFadil itu pintar tapi standar menurut Papanya. Mereka sudah seperti anjing dan kucing pokoknya. Tidak ada yang pernah mau mengalah. Tapi Papanya cukup menyenangkan. Mama Fadil itu tegas sekali, kadang Fadil sampai canggung dengan Mamanya sendiri. Me...